Sabtu, 02 Januari 2010

Memprihatinkan, Nasib Gharin Masjid

Oleh: Muhammad Subhan

MEMPOSISIKAN gharin masjid pada fungsi sebenarnya tampaknya tidak mudah. Tidak semua pengurus masjid paham fungsi gharin yang bertugas di masjid. Tak heran, banyak gharin merasa di intervensi pengurus, hingga akhirnya ‘terpaksa’ meninggalkan masjid dan mencari 'pekerjaan' baru di luar masjid.

‘Rangkap jabatan’ tugas gharin; menjadi muadzin, imam, guru TPA, hingga urusan bersih WC, adalah realitas yang kita saksikan saat ini. Di Sumatera Barat, Kota Padang khususnya, gharin umumnya mahasiswa perguruan tinggi agama Islam (IAIN, STAI, STAI PIQ, dll), dan sering mendapat perlakuan tidak adil sejumlah pengurus masjid tempat mereka menumpang tinggal. Ketidakadilan itu terlihat dari beratnya beban tugas gharin, sementara finansial yang diterima tidak sebanding dengan pekerjaannya.

Alasan klasik sejumlah pengurus, gharin bertugas “Lillahi Taala”. Sekedar makan minum diberikan, ditambah sedikit ‘uang lelah’. Sayangnya, pengurus masjid sering lupa, status gharin yang umumnya mahasiswa membutuhkan biaya yang lebih besar untuk kuliah. Sebab tidak semua mahasiswa bergantung pada orang tua. Tapi keadaan itu cenderung tidak diterima pengurus. Ada pengurus menuntut gharin bertugas full time lima waktu, sementara honor yang diberikan antara Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per bulan.

Menurut saya, gharin adalah guru bagi jemaah di masjid. Status guru itulah, saya rasa gharin kurang pantas disuruh membersihkan WC. Jika pengurus masjid bijaksana, hendaknya ada pemisahan tugas antara gharin dan petugas kebersihan masjid. Petugas di sini maksudnya tidak mesti dilimpahkan kepada gharin yang statusnya telah menjadi imam, khatib bahkan guru bagi majelis taklim dan murid TPA. Artinya, pegurus masjid harus mencari orang lain untuk tugas khususnya membersihkan masjid. Hal itu dapat memanfaatkan tenaga warga yang tinggal di sekitar masjid yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Ya, hitung-hitung pengurus masjid ikut membantu pemerintah membuka lapangan pekerjaan baru.

Lalu, berapa finansial yang pantas diberikan pengurus masjid untuk seorang gharin? Sebuah cerita di email yang dikirimkan seorang teman tampaknya bisa memberi jawaban pertanyaan itu. Begini; Suatu hari seorang pegurus masjid datang kepada dosen IAIN. Si pengurus meminta kepada si dosen agar salah seorang mahasiswanya berkenan menjadi gharin di majidnya. Sesaat terjadi dialog antara dosen dan si pengurus masjid.

“Berapa honor untuk mahasiswa saya yang akan jadi gharin?” tanya si dosen.

“Seratus ribu rupiah sebulan, Pak,” jawab pengurus masjid.

Sejenak si dosen terdiam. Tepatnya tercenung. Lalu berkata, “Bagaimana kalau tak usah di beri honor, tapi Bapak belikan saja nasi bungkus sehari tiga kali. Sebungkus kira Rp7.000, jadi sehari Rp21.000,” kata Dosen.

“Kalau begitu, sebulan Rp630.000,- juga, Pak?” kata pengurus masjid balik bertanya.

“Ya, begitulah kira-kira. Sedikit di bawah UMR. Itupun minimal,” jawab Dosen sembari menatap wajah pengurus masjid yang agak cemberut. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar