Oleh: Muhammad Subhan
BAGAIMANA pula cara mensosialkan perusahaan? “Maaf, di sini tidak ada lowongan!”, “Maaf, kami tidak melayani proposal”, “Maaf, kami tak Layani Sumbangan”, “Pengemis dilarang masuk pagar”, “Maaf, ……” dan saya rasa banyak lagi kalimat-kalimat “maaf” yang sebenarnya tidak sedikitpun mencerminkan sifat sosial perusahaan-perusahaan yang berada di kota besar. Kalimat-kalimat seperti itu selalu ada dan terpampang di setiap pintu ataupun pagar sebuah kantor perusahaan.
Ragu kita, apa benar masih ada namanya perusahaan yang sosial dan orang-orang didalamnya memiliki kedermawanan sosial pada kelemahan orang-orang disekitarnya. Jarang sekali saya kira. Jika pun ada hanya satu dua. Itupun terjadi langka pula, sebab kedermawanan sosial yang dilakukan perusahaan seperti itu hanya sesuai “momen” saja. Misalnya pada hari ulang tahun perusahaan, hari-hari besar keagamaan, ketika suatu daerah mengalami bencana, dan ketika ada kunjungan-kunjungan pejabat pusat yang sering terkesan untuk “cari muka!”
Namun begitulah gambarannya tentang jiwa sosial sebuah perusahaan yang sering kali tidak mencerminkan sifat-sifat sosial itu sendiri. Padahal, apa yang diproduksi sebuah perusahaan tidak lepas dari keterlibatan orang-orang kecil yang lemah. Saya misalkan, sebuah perusahaan tambang sudah pasti pekerja tambang dengan gaji rendahannya adalah orang-orang kampung yang kumuh. Begitu pula, perusahaan dengan produk industri kerajinan, selalu melibatkan tenaga kerja bawahan juga. Apalagi perusahaan-perusahaan yang memproduksi pupuk, kayu olahan, elektronik, kertas, makanan/minuman, jasa, dan banyak lagi lainnya.
Inilah celakanya kita orang Indonesia, butuh tenaga orang, eh, tak punya perhatian sedikit pula pada orang yang membantu walau telah diangkat sebagai tenaga kerja. Seharusnya, jiwa sosial perusahaan itu, sebelum ditujukan kepada masyarakat di sekitarnya, adalah lebih dulu untuk para tenaga kerjanya yang bergaji rendah, bahkan ada yang berpenghasilan di bawah UMR. Tapi nyatanya, banyak tenaga kerja yang dimiliki sebuah perusahaan selalu termarjinalkan bahkan cenderung diintervensi. Sedih sekali saya kira.
Kita tahu, Indonesia bukan lagi negara baru dengan demo buruh ketika hari buruh. Sebabnya apa? Tidak lain tuntutan kenaikan gaji dan tambahan tunjangan ini itu agar mereka bisa hidup seperti layaknya manusia. Meski perusahaan seringkali sulit untuk “memanusiakan” karyawan-karyawannya dengan sejumlah “tetekbengek” alasan klasik; belum dapat laba, rugi, krisis ekonomi, belum ada keputusan pimpinan pusat, dan entah alasan apalagi yang semuanya terdengar klise!.
Ya. Sebabnya karena itu tadi, tanggung jawab sosial perusahaan masih sangat rendah dan lemah. Karyawan tidak lebih sebagai “pekerja rodi” layaknya di zaman paksa. Diperas keringatnya, dikuras tenaganya. Sudahlah lemah hidup mereka, ditambah lemah pula pendapatan yang seharusnya bisa memberi kekuatan ekonomi dalam rumah tanggga.
Menurut hemat saya, sebelum perusahaan “ekspansi kedermawanan” pada masyarakat di sekitar, lebih baik dan lebih dulu karyawanlah yang diperhatikan. Bayangkan, ada karyawan yang anak mereka sakit tapi tak mendapat asuransi kesehatan, atau juga yang terlilit hutang. Belum lagi yang istrinya akan melahirkan namun tak punya uang untuk persalinan. Maka tak heran, etos kerja karyawan sering rendah karena pikiran mereka selalu tidak fokus pada pekerjaan. Sebabnya, ya, ketika bekerja kepala mereka selalu ditumpuki berbagai perosoalan; anak, istri, kontrakan rumah, rekening listrik, telepon, BBM motor, dan seribu persoalan lainnya. Siapa peduli? Perusahaan hanya punya kewajiban membayar gaji tiap bulan. Selebih dari itu, karyawan jangan coba-coba meminta “kesosialan” perusahaan kalau tidak mau bernasib “sial”; dimutasi atau di PHK!
Jika tanggung jawab sosial perusahaan ini sudah maksimal kepada karyawan, baru bolehlah kita bicara soal tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitar yang memang butuh pertolongan perusahaan bersangkutan. Ada masjid yang pembangunannya terbengkalai, ada warga miskin yang butuh beras, ada anak-anak penyandang cacat yang butuh pendidikan, panti asuhan yang kekurangan uang untuk makanan anak yatim piatu, ada janda-janda jompo yang butuh perawatan, ada anak berprestasi namun tak punya biaya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih baik, pedagang kaki lima yang butuh modal. Dan… banyak lagi persoalan-persoalan sosial lainnya yang membutuhkan kesetiakawanan sosial perusahaan.
Sebaiknya, mewujudkan tanggung jawab sosial perusahaan itu, tidak mesti menunggu proposal masuk ke meja direksi atau pimpinan. Tapi perusahaan harus pro aktif menilik langsung kondisi lapangan, bagaimana keadaan masyarakat sebenarnya dan apa yang bisa diberikan perusahaan untuk meringankan semua persoalan itu. Hal seperti ini jarang sekali dilakukan. Egoisme perusahaan lebih ditonjolkan dari pada substansi persoalan membantu masyarakat lemah. Mengapa itu terjadi? Sebuah iklan rokok di TV swasta menyindir kritis, “tanyakan kenapa, tanyakan kenapa!” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar