Oleh: Muhammad Subhan
KASUS penyiksaan Nirmala Bonet (27), tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, beberapa tahun silam adalah cermin ‘wajah buruk kita’ di mata internasional. Dan, kejadian yang sama menimpa Paulus Gusper atau Loze Gasper (43), yang juga TKI asal Kupang, NTT. Loze Gasper meninggal dunia di Rumah Sakit Kinabalu, Malaysia pada 7 November 2006 silam yang juga karena dianiaya. Lalu penyiksaan demi penyiksaan terus menimpa TKI kita dan sangat tragis.
Kasus penganiayaan, pelecehan seksual, pemerkosaan bahkan sampai pembunuhan, sudah acap kali terdengar menimpa TKI asal Indonesia yang mencari nafkah di negeri jiran. Dalam pandangan mereka, Negara Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, Jepang, Korea bahkan Arab Saudi, adalah negara-negara yang menjanjikan gaji/upah ‘serba wah’ yang tidak pernah terbayangkan jika bekerja di Indonesia. Berbagai cara pun ditempuh, baik legal atau illegal, asalkan bisa bekerja di negara-negara tersebut.
Bagi yang mengantongi izin, dipastikan dapat bekerja dengan tenang. Mendapat fasilitas, gaji yang mencukupi, bahkan berbagai tunjangan pun diberikan sehingga orang kampung yang mendengar kesuksesannya ikut pula merasa senang. Tapi, bagi TKI yang masuk melalui ‘jalur haram’ (umumnya perantara calo) mereka harus siap menghadapi resiko apapun. Hal itu, tentu saja, terlepas dari pengawasan pemerintah Indonesia yang telah melimpahkan masalah TKI pada Dinas Keternagakerjaan.
Karena banyaknya pendatang haram itu, pemerintah Malayisa sempat mengeluarkan kebijakan memulangkan ribuan tenaga kerja asal Indonesia. Kebijakan tersebut adalah sikap tegas pemerintah Malaysia ketika Departemen Keternagakerjaan negara jiran itu berhasil mendata banyaknya pendatang haram yang masuk ke negara yang dikenal konsisten dengan hukum Islamnya itu.
Ribuan TKI illegal pun kehilangan pekerjaan. Mereka berbondong-berbondong pulang kampung (diantaranya ada yang menggendong bayi tapi tak jelas siapa bapaknya, ada yang membawa cacat tubuh, bahkan hilang kegadisan karena diperkosa majikan, dll). Itulah realitas “miris” yang selalu ada dan sulit ditutup-tutupi.
Yang lebih aneh, dengan banyaknya kasus yang menimpa TKI itu, semakin banyak pula calon TKI yang berangkat, baik secara legal maupun illegal, ke negara-negara tujuan kerja. Ketika dikonfirmasi, ada calon TKI, dengan nada gampang menjawab, “soal itu sih sudah resiko kerja, tapi kita bisa jaga diri, kok,” ujar mereka.
Pernyataan lugu itu keluar dari bibir gadis-gadis berumur kencur (ABG). Dilatarbelakangi desakan ekonomi di kampung, atas izin maupun tidak dari kedua orang tua, mereka bertekad mengadu nasib di negeri jiran dengan berbagai resiko yang akan dihadapi.
Menurut saya, fakta ini tidak mesti terus dibiarkan oleh pemerintah Indonesia, yang katanya memiliki negeri “remah ripah loh jenawi, toto tentrem jasa raharjo”. Negeri yang dilintasi garis Khatulistiwa, dan konon kata orang kolamnya kolam susu, bahkan jika batu dan kayu dilepar ke tanah pun akan tumbuh menjadi tanaman.
Bagi kita masyarakat awam, adagium itu boleh-boleh saja untuk menunjukkan wibawa bangsa ini di mata masyarakat internasional. Tapi yang lebih sah lagi adalah jika pemerintah mampu memberdayakan tenaga kerja untuk menggarap lapangan kerja di negeri sendiri. Namun jika tidak, kasus yang menimpa Nirmala Bonet, Loze Gasfer, dan perempuan-perempuan Indonesia lainnya, esok atau lusa, mungkin saja akan berulang kembali. Dan itu tidak mustahil. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar