Oleh: Muhammad Subhan
SEJAK pemerintah mengkampanyekan perang terhadap sampah, di sudut-sudut kota di Sumatera Barat banyak terpasang spanduk bertuliskan “Kawasan Bebas Sampah”. Lama saya renung-renungkan kalimat itu. Terpikir di benak saya, bukankah makna Kawasan “Bebas” Sampah boleh membuang sampah di kawasan itu?
Kalaulah maksud kalimat spanduk masyarakat dilarang buang sampah sembarangan, kenapa tidak menambah kata penghubung “dari” yang memperjelas makna kalimat, menjadi “Kawasan Bebas dari Sampah”. Saya kira lebih bisa dipahami dan dimengerti bagi yang membacanya.
Tapi ternyata, tidak hanya Sumatera Barat saja yang menggunakan kalimat seperti itu. Di beberapa kota besar yang pernah saya singgahi seperti Medan, Jakarta , Surabaya, Bali, Jawa Timur, dan beberapa kota lainnya juga menggunakan kalimat sama. Saya tanya pada pihak-pihak terkait yang lebih mengerti bahasa, jawabannya, untuk ‘efisiensi’ bahasa saja!
Benarkah demikian? Untuk sebuah efisiensi lalu menggadaikan substansi? Bukankah itu pengaburan makna bahasa namanya? Saya juga menemukan kasus sama pada kalimat “Kawasan Bebas Rokok”. Bukankah kalimat itu membolehkan orang merokok? Begitu pula kalimat “Kota Padang Bebas Narkoba”. Bukankah boleh mengkonsumsi narkoba di Kota Padang ?
Paniang juo awak. Tapi demikianlah beberapa kerancuan yang saya temukan dan sepertinya tak begitu dipedulikan. Perlahan namun pasti kalimat-kalimat seperti itu sudah membudaya saja di tengah masyarakat. Sudah menjadi adat istiadat pula.
Dan, yang lebih membuat dahi berkerut, begini. Suatu kali saya kebetulan mengikuti kegiatan serahterima bantuan salah satu lembaga kemanusiaan untuk korban gempa di Kabupaten Agam. Tersebutlah pula nama ‘Guguak Tinggi’. Setelah saya lihat kampung itu—dan saya tanya pula pada warga setempat—ternyata Guguak Tinggi berada di dataran rendah. Eh, sebaliknya kampung tetangganya ‘Guguak Randah’ berada pula di dataran tinggi. Bukankah tidak sesuai nama dengan kenyataannya? Salahkah Ninik kita dulu memberi nama kampung itu? Senyum pula saya dibuatnya.
Dan satu lagi, ketika kawan-kawan di kampus dulu mengajak tadabbur alam di Danau Di Atas, Solok, saya tafakuri nama danau itu. Ternyata, Danau Di Atas berada di bawah (dataran rendah—pen), dan pasangannya Danau Di Bawah berada pula di atas (dataran tinggi). Lagi, saya dibuat menahan tawa pula.
Namun saya kira, penggunaan nama Guguak Tinggi, Guguak Randah, Danau Di Atas dan Danau Di Bawah itu, bukanlah sebagai efisiensi bahasa oleh pemberi namanya dulu. Tak tahu saya apa maksud nama yang “terbalik” itu dipasangkan. Tapi saya kira perlu pula ‘dikunyah-kunyah’ apa sebenarnya makna nama-nama yang disandangkan itu.
Teringat saya kata pepatah, “Bahasa Menunjukkan Bangsa”. Indah benar kalimat itu. Namun, benarkah kita sudah menunjukkan bangsa ini dengan bahasa yang baik dan benar? []
Tersebutlah pula nama ‘Guguak Tinggi’. Setelah saya lihat kampung itu—dan saya tanya pula pada warga setempat—ternyata Guguak Tinggi berada di dataran rendah. Eh, sebaliknya kampung tetangganya ‘Guguak Randah’ berada pula di dataran tinggi. Bukankah tidak sesuai nama dengan kenyataannya? Salahkah Ninik kita dulu memberi nama kampung itu? Senyum pula saya dibuatnya.
BalasHapusDalam ilmu bahasa penamaan merupakan suatu hal yang bersifat arbitrer. Jika pada bagian awal Bang Muhammad membahas pada sebuah frasem bukan nama itu oke. Berbeda halnya dengan penamaan. Menyangkut penamaan nama Jorong Guguak Tinggi dan Guguak Randah bukan berdasarkan kondisi geografisnya. Penamaan ini berdasarkan sejarah. Dalam bahasa Minangkabau yang lebih dahulu sering ditandai dengan nan tinggi, nan gadang dst. Nah nama Guguak Tinggi karena inilah daerah yang pertama muncul. Urang nan barampek sebagai founding father nagari Guguak 4 Jurai (nama awal Guguak Tinggi)mengirim 4 pangulu ke daerah seberang ngarai yang berikutnya juga dinamai sebagai Guguak juga. Untuk membedakan akhirnya mereka menamakan Guguak Tinggi (Guguak 4 Jurai dulunya) sebagai nan asa dan Guguak Randah sebagai daerah barunyo.