Oleh: Muhammad Subhan
Sisa-sisa kehancuran pascagempa bumi yang melanda Sumatera Barat memiriskan mata yang memandang. Rumah-rumah terlihat rata dengan tanah, khususnya di sebagian wilayah kota Padang, kabupaten Padang Pariaman, dan kabupaten Agam. Gempa benar-benar merusak. Ribuan warga masih tinggal di tenda-tenda darurat, dengan peralatan seadanya. Meski bantuan sudah berdatangan tapi penyaluran tidak merata, banyak warga yang belum menerima bantuan itu. Unjuk rasa sering terjadi.
Dua hari jelang lebaran, saya sibuk menghubungi kawan-kawan yang punya mobil untuk saya rental pulang mudik. Tak ada yang merespon, karena kendaraan mereka juga dipakai untuk kegiatan yang sama. Sehari menjelang hari H, saya berinisiatif menulis info di facebook mengharapkan ada tanggapan dari kawan-kawan yang lain. Saya tulis begini; “Bagi kawan-kawan yang berdomisili di Bukittinggi dan Padang Panjang, mohon info mobil yang bisa dirental, besok saya mau mudik…”
Alhamdulillah, tak lama kemudian pesan itu direspon oleh seorang kawan di Padang Panjang. “Saya punya mobil yang bisa dirental, harga sedikit mahal, Rp300 ribu sehari,” tawarnya. Biarlah, Rp300 ribu tidak jadi soal asal saya bisa memakai kendaraan itu, karena saya sudah berniat akan membawa istri, ibu dan seorang adik mudik dengan kendaraan ke kampung. Akan sangat menyulitkan tentunya jika menumpang kendaraan umum. Segera saya kontak kawan itu. Saya rental 3 hari. Esok paginya dia serahkan kunci mobil, dan kami pun sekeluarga berangkat.
Saya dan keluarga tinggal di Padang Panjang, kota kecil di kaki Gunung Merapi yang berhawa sejak. Padang Panjang juga disebut kota hujan. Sebab nyaris setiap hari gerimis turun. Tak jarang kota ini diselimuti kabut yang menambah indah pemandangan. Saya bersyukur bisa menetap di kota ini, karena sebagai seorang penulis saya membutuhkan suasana yang nyaman, aman dan tenang. Padang Panjang agaknya sangat tepat mendukung profesi saya.
Kampung istri saya di Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan, sekitar 3 jam berkendaraan dari Padang Panjang. Sedangkan kampung ibu di Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, lebih kurang 5 jam dari Padang Panjang. Hari itu, kami berangkat ke kampung istri dulu, menginap semalam sembari esok paginya ikut salat Idul Fitri berjamaah di masjid yang tidak jauh jaraknya dari rumah keluarga istri. Usai sungkem sana sini mohon maaf lahir dan batin khususnya pada mertua, siangnya kami berangkat ke kampung ibu di Kajai, Pasaman Barat. Ini adalah lebaran pertama bagi saya membawa istri, ibu dan adik dengan merental kendaraan, karena sebelumnya saya tidak pernah membawa mereka menggunakan kendaraan pribadi yang dirental. Maklumlah, keluarga kurang mampu.
Tentu saja sangat asyik mudik bersama keluarga. Di dalam kendaraan kami bercanda dan berangan-angan andai saya punya mobil sendiri kelak. Semuanya mengaminkan. Maka, saya minta istri, ibu, adik untuk berdoa semua di atas kendaraan yang kami tumpangi itu. Tentu saja, saya percaya doa istri, ibu, dan adik akan diijabah oleh Allah SWT, amin.
Selama tiga hari itu, kami menghabiskan waktu mengunjungi sanak keluarga. Benar-benar luar biasa ibu saya itu, sanak familinya banyak. Tak cukup rasanya dua hari menyinggahi semua rumah. Andai saja tidak dibatasi oleh masa rental mobil, ingin pula kami kunjungi semuanya karena saya tidak terlalu mengenal mereka.
Kami hanya bisa menyinggahi 5 rumah adik-adik ibu di Kapar, sekitar 30 menit perjalanan dari kampung ibu di Kajai. Luar biasa senangnya mereka menyambut kami. Ibu juga sudah lama tidak bertemu, karena sebelumnya kami berdomisili di Lhokseumawe, Aceh.
Tradisi di kampung setiap tamu yang datang diharuskan makan di rumah yang disinggahi. Adik ibu saat itu memasak gulai paku (pakis). Ibu tentu saja tidak dibolehkan makan karena ibu menderita rematik dan asam urat. Kata orang pantang penderita rematik dan asam urat makan sayur pakis.
Omong-omong soal gulai paku ini, ibu saya bercerita lucu tentang kenangan almarhum orang tua perempuan ibu, nenek saya. Kata ibu, nenek saya menikah di usia sangat muda, 12 tahun. Masa itu orang-orang kampung punya kebiasaan menikahkan anak-anak mereka di usia relatif muda. Sedikit yang bersekolah, maklumlah zaman penjajahan Belanda. Di usia yang sangat belia itu, mungkin juga hingus belum mampu lagi dilap, nenek menikah dengan kakek. Suatu hari, cerita ibu lagi, nenek disuruh memasak sayur paku (pakis). Sebagai seorang istri yang baik dan baru belajar memasak, nenek menurut. Tapi siapa sangka, yang digulai nenek bukan sayur paku (pakis) sebenarnya, melainkan paku dinding. Kakek berang, nenek pun diceraikannya.
Mendengar cerita itu semua kami tertawa, bahkan saya terpingkal-pingkal menahan tawa. Lucu sekali saya kira kejadian itu. Lalu kata ibu lagi, setelah diceraikan oleh suami pertamanya, nenek menikah lagi barulah lahir ibu. Jadi ayah ibu merupakan suami kedua dari nenek saya.
Makanya, bagi yang belum benar-benar siap menikah apalagi usia masih belia, jangan coba-coba nikah dini. Akibatnya nanti seperti apa yang dialami nenek saya itu. Sok menjadi istri malah tak pandai memasak sama sekali, tak bisa membedakan mana istilah sayur paku dengan paku sebenarnya. Kami pun tertawa lagi bersama-sama.
Pokoknya, lebaran kali ini adalah lebaran yang membahagiakan bagi kami sekeluarga. Karena kami semua dapat berkumpul mengunjungi sanak famili yang telah sekian lama tidak kami jenguk keadaan mereka. Maklumlah di kampung namanya, ekonomi mereka rata-rata di bawah garis kemiskinan.
Empat hari usai lebaran kami pulang kembali ke Padang Panjang. Beraktivitas seperti biasa lagi. Istri menyiapkan bahan-bahan ajarnya, karena Senin 28 September 2009 ia mulai masuk kelas lagi. Istri saya guru Bahasa Inggris di SD Negeri 08 Ganting, Padang Panjang. Sementara saya kembali beraktivitas pula seperti biasa, sibuk di depan komputer, mengetik tulisan, mengirim berita, dan juga menulis cerpen, puisi dan artikel-artikel yang saya ikutkan dalam lomba-lomba penulisan.
Rabu, 30 September 2009. Hari itu adalah hari bersejarah bagi masyarakat Sumatera Barat. Delapan hari usai lebaran, bumi Ranah Minang Minang berguncang. Gempa bumi. Memorakporandakan semuanya. Lebih 1.000 orang meninggal dunia, ribuan lainnya luka-luka, dan ratusan orang dinyatakan hilang.
Sore, ba’da Ashar. Hari itu istri meminta saya mengantarnya ke pasar. Biasanya, jika saya bekerja, istri selalu berbelanja sendirian. Jarang minta diantar jika keadaan tidak mendesak. Tapi hari itu saya antar istri, karena kondisinya terlihat kurang sehat.
Pasar sangat ramai dengan aktivitas perdagangan. Suasana benar-benar hidup. Usai mengantar istri saya tidak langsung kembali ke rumah, saya keliling pasar saja dengan sepeda motor. Tak lama kemudian istri mengirim sms bahwa ia sudah selesai belanja. Dia menuju sebuah kedai minyak tanah, karena jerigen dititipkan di sana. Saya susul. Ketika ia datang ke kedai itu, minyak belum diisi. Masih kosong. Saya menunggu di depan kedai, sementara motor masih dalam kondisi hidup.
Ketika minyak akan diisi si pemilik kedai, tiba-tiba terasa getaran di tanah tempat saya berpijak. Awalnya terasa lambat. Saya yang duduk di atas motor ikut terguncang dan cepat menyadari bahwa itu gempa. Lalu guncangan semakin kuat. Saya berteriak kepada istri, gempa! Langsung motor saya larikan ke tepi jalan menjauh dari bangunan. Di sekitarnya berdiri ruko-ruko bertingkat dua.
Istri yang juga menyadari gempa, secepatnya meninggalkan belanjaannya lalu berlari mengikuti saya. Saya pegang tangan istri. Dia juga erat memegang lengan saya. Wajahnya pucat pasi. Orang-orang di sekitar pasar berhamburan. Suara gemuruh terdengar dari bangunan-bangunan. Bumi berguncang hebat. Getarannya vertikal. Terdengar pula pekik takbir. Wajah-wajah panik. Beberapa kendaraan roda empat di jalanan nyaris tabrakan. Sepeda motor yang parkir berjatuhan. Sempat saya menduga, kalau-kalau Gunung Merapi meletus.
Dalam kondisi itu, saya ingat ibu di rumah. Ibu yang sakit tak akan kuat berjalan. Di samping itu, akibat gempa-gempa terjadi yang terjadi sebelumnya, meski tak sekuat hari itu, telah merusak rumah kontrakan saya. Seluruh dinding retak-retak. Dinding ruang tengah saja nyaris hancur dan kondisinya sudah cembung ke dalam.
Ketika ingat ibu sendirian di rumah, saya tinggalkan istri di tempat yang aman dari bangunan. Dia juga menyuruh saya segera melihat ibu. Lalu saya meluncur ke rumah. Di sepanjang jalan banyak orang berdiri dan berjongkok dengan wajah penuh kepanikan. Sesampainya di rumah, saya lihat ibu sudah berada di luar bersama tetangga lainnya. Di wajah ibu menyemburat rona kepanikan.
Setelah memastikan ibu aman, saya jemput istri di pasar. Di jalanan masih ramai. Sebuah masjid, tidak jauh dari rumah saya, menaranya retak-retak. Empat ruko berlantai empat, kaca-kaca dindingnya pecah berserakan. Empat lantai bagian paling atas tiang-tiangnya miring ke kiri, nyaris rubuh dan jatuh. Dinding sebuah rumah warga di tepi jalan raya juga jebol.
Saya dan istri segera mengambil belanjaan yang tertinggal. Sementara waktu saya minta ibu, istri dan seorang adik perempuan menumpang di rumah ketua RT, tetangga di sebelah rumah. Kebetulan, rumah RT itu terlihat aman, tidak bertingkat dan bangunannya pun kokoh. Usai mengamankan mereka bertiga, saya raih kamera, menyisiri Padang Panjang, melihat-lihat kondisi yang terjadi. Jalan-jalan tampak sepi. Rumah-rumah dan pertokoan di pinggiran jalan terlihat retak tidak terlalu parah.
Saya kembali ke rumah ketika adzan magrib usai berkumandang. Padang Panjang gelap gulita. Listrik mati. Hujan gerimis turun, sempat lebat beberapa saat. Istri teringat pada ibu dan kakaknya yang tinggal di Padang. Seorang adik saya juga tinggal di Padang. Sudah ditelepon berkali-kali tapi tidak ada sambungan. Jaringan hp sibuk. Anehnya kondisi sinyal penuh.
Untung saja, malam itu, sekitar pukul 21.00, listrik kembali hidup. Sesaat mati lagi. Lalu hidup lagi. Saya lihat kondisi rumah. Tiang-tiang penyangganya masih baik, namun nyaris seluruh dinding retak, terutama di kamar ibu di dekat ruang dapur. Ibu was-was melihat kondisi dinding seperti itu. Saya yakinkan bahwa bukan kita saja yang mengalaminya, banyak orang lain yang rumahnya lebih parah. Malam itu kami tetap tidur di rumah, namun membawa kasur di dekat pintu keluar, jaga-jaga kalau terjadi gempa susulan. Alhamdulillah, hingga pagi tidak terjadi gempa kuat, hanya gempa kecil saja, yang terasa sekitar dua kali, namun sempat juga mengagetkan.
Paginya, saya bilang sama istri bahwa saya akan ke Padang, melihat keluarga istri dan adik saya. Istri melarang karena belum tahu bagaimana kondisi Padang. Di pagi itu pula, melalui siaran televisi tersiar kabar kondisi Padang dan Padang Pariaman yang rusak parah pascagempa. Ratusan orang tewas terperangkap reruntuhan gedung-gedung besar, ribuan korban luka-luka, dan ratusan lainnya hilang.
Dari seorang polisi saya dapat informasi bahwa jalan di sepanjang perbukitan Silaing Padang Panjang hingga Lembah Anai putus total. Longsoran terjadi di 20 titik. Tiga titik terparah lokasinya. Dua buah batu sebesar truk tronton melintang di jalan, jatuh dari puncak bukit yang tinggi. Terdengar kabar pula, seorang pengendara sepeda motor tewas terseret longsor di lokasi itu. Sebuah mobil Avanza juga dihantam longsor dan nyaris jatuh ke dalam sungai berbatu yang cukup dalam di tepi jalan perbukitan itu. Sopirnya selamat dan dilarikan warga ke rumah sakit Padang Panjang.
Kamis, 1 Oktober 2009, kembali saya berniat menerobos kawasan yang terjadi longsor itu. Namun tidak juga bisa karena kondisinya masih sangat rawan. Sepeda motor saya harus kembali balik kanan. Suasana di Padang Panjang sendiri sepi. Ratusan truk berukuran besar parkir di pinggiran jalan sejak hari pertama gempa. Kendaraan dari arah Bukittinggi yang akan menuju Padang dialihkan ke jalur Solok. Ratusan petugas kepolisian dan TNI sibuk berjaga-jaga mengamankan arus lalu lintas. Dua SPBU di Padang Panjang diserbu ribuan kendaraan, dan dalam sekejab BBM habis. Beberapa penjual BBM eceran mematok harga Rp10.000-Rp15.000 per liter.
Jalur longsor baru berhasil saya tembus pada Jumat, 2 Oktober 2009 bersama istri yang minta ikut karena ingin memastikan kondisi ibu dan kakaknya di Padang. Sepanjang jalur longsoran itu, ribuan kendaraan merangkak bak jalan bekicot. Yang membawa sepeda motor masih beruntung dapat menyelip di antara ribuan kendaraan lainnya, namun malang bagi pengendara roda empat, jalan yang macet menyebabkan kendaraan-kendaraan itu diam tak bergerak selama berjam-jam. Kondisi itu terjadi lantaran sempitnya badan jalan, banyak kendaraan yang berebutan ingin mendahului, dan minusnya petugas pengatur lalu lintas di jalan. Di dalam kendaraan-kendaraan itu, tampak sopir dan penumpangnya kepanasan.
Di lokasi itu saja saya bertahan selama hampir empat jam, belum lagi memasuki perbatasan Padang Pariaman. Jalan benar-benar macet total. Seandainya terjadi gempa susulan diiringi longsor, sudah dipastikan akan lebih banyak lagi memakan korban. Namun syukurlah selama di tengah macet itu tidak terjadi apa-apa.
Di sepanjang jalan menuju Padang itu, mulai dari kawasan Sicincin Kabupaten Padang Pariaman sudah terlihat rumah-rumah warga di kiri kanan jalan yang roboh pascagempa. Macam-macam kondisinya dan sangat memprihatinkan. Semua pemandangan itu ternyata belum seberapa jika dibandingkan suasana di kota Padang. Hampir seluruh bangunan besar di Kota Bingkuang itu luluh lantak diamuk gempa. Empat hotel besar rusak binasa dan mengubur hidup-hidup 200-an orang di dalamnya. Toko-toko berisi barang dagangan mewah, seperti mobil, sepeda motor, perabotan, barang-barang elektronik, juga mall/plaza, pasar raya, hingga Kampung Cina di kawasan Kota Tua turut rusak binasa. Benar-benar dahsyat dampak gempa itu.
Di hari itu juga saya mencari keberadaan ibu dan kakak istri serta seorang adik saya. Di rumah adik saya di kawasan Tunggul Hitam Padang saya tidak menemukan keberadaannya. Kata tetangga ia tidak apa-apa, selamat dan sempat mengungsi ke kawasan kampus Universitas Andalas di Limau Manis. Dalam kondisi itu saya baru menyadari, putusnya komunikasi lantaran listrik mati di Padang, mungkin saja batre hp drop, di samping juga rusaknya jaringan telekomunikasi hingga hilangnya sinyal.
Mendengar adik saya itu aman, saya sedikit lega dan perjalanan dilanjutkan ke rumah kakak istri saya di kawasan By Pass. Di sepanjang jalan juga terlihat rumah-rumah penduduk yang rusak parah. Di rumah kakak ipar saya itu, saya dan istri tidak menemukan mereka. Menurut informasi tetangga, mereka bersama keluarga serta ibu mertua saya mengungsi ke rumah famili di kawasan Limau Manis. Rupanya, ketika terjadi gempa, tersebar isu tsunami sehingga banyak warga Padang menyelamatkan diri ke daerah-daerah ketinggian, termasuk keluarga kakak ipar saya itu.
Mengenai isu tsunami ini, menurut seorang warga, ketika gempa terjadi, lantai rumah warga banyak yang retak dan terbelah lalu memancurkan air berwana hitam pekat. “Seperti lumpur Lapindo. Kami semua panik. Ini mungkin tanda-tanda akan tsunami. Maka kami semua mengungsi,” ujar seorang warga. Wajahnya masih menyisakan kepanikan atas dahsyatnya musibah itu.
Saya di Padang Panjang saja merasakan kuatnya goncangan gempa, konon lagi bagi mereka yang rumahnya berada dekat dari pusat gempa. Kekuatannya tentu lebih besar lagi. Itu pula yang menyebabkan banyak bangunan dan rumah roboh. Di Padang, setiap gempa terjadi selalu muncul isu tsunami. Semua orang panik. Meski sudah latihan evakuasi tsunami beberapa kali, melihat kondisi seperti itu, saya berkesimpulan Padang belum siap menghadapi bencana selanjutnya. Sebab, di kota ini jalur evakuasi masih minus dan keadaannya sempit pula. Konon ketika terjadi kepanikan banyak orang membawa kendaraan menyelamatkan diri dan meninggalkan rumah menuju daerah-daerah ketinggian. Di jalan-jalan terjadi kemacetan lantaran banyaknya kendaraan yang melintas dan saling mendahului satu sama lain.
Setelah perjalanan ke Limau Manis yang lumayan jauh dari pusat kota ditempuh, akhirnya saya dan istri bertemu dengan keluarga di sana. Alhamdulillah, semua mereka selamat dan dalam keadaan baik. Malam itu pula saya sempat masuk kota melihat evakuasi terhadap korban anak-anak peserta kursus di Lembaga Pendidikan Gama yang masih tertimbun bangunan, puluhan orang diantaranya. Malam itu Padang benar-benar gelap gulita. Bagaikan kota mati.
Saya kembali ke Padang Panjang Sabtu 3 Oktober 2009 dengan suasana yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Saya lihat, di sejumlah SPBU, sudah mulai tampak petugas mengatur antrian kendaraan yang membeli BBM. Begitu pula, kemacetan di jalanan sudah mulai lengang. Di sepanjang jalan menuju Padang Panjang, setiap 100 meter, warga berinisiatif memungut sumbangan dari pengendara yang dikoordinir oleh masing-masing Posko. Beberapa warga juga mulai membenahi rumah-rumah mereka yang porak-poranda dihoyak gempa. Sejumlah tenda bantuan organisasi kemanusiaan mulai berdiri di halaman rumah-rumah warga. Berbagai kendaraan yang mengangkut bantuan khususnya makanan dan obat-obatan terus berdatangan memasuki kota Padang dan Padang Pariaman. Meski agak terlambat lantaran gangguan jalan serta komunikasi, namun hal tersebut masih lebih baik. Masyarakat bersyukur atas semua bantuan yang datang itu.
Ketika melintasi kawasan perbukitan di Lembah Anai hingga perbatasan Padang Panjang, jalan tidak lagi macet seperti hari pertama hingga hari ketiga pascagempa. Suasana sudah hampir normal. Kendaraan sudah berjalan sesuai jalurnya. Sisa-sisa longsoran mulai dibersihkan oleh alat-alat berat yang berdatangan ke titik-titik longsor.
Ya Rabbi. Sungguh banyak hikmah dari semua ujian dan cobaan yang Engkau berikan, dan dengan mata kepala saya menyaksikan kedahsyatannya. Semoga semua ini bukan adzab bagi hamba-hamba-Mu yang masih enggan bersujud dan banyak bergelimang noda dan dosa.
Inilah pengalaman saya yang paling berkesan usai lebaran. []
Padang Panjang, 19 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar