Oleh: Muhammad Subhan
Berjudi, menyabung ayam, mengadu balam (burung puyuh), meminum arak, merupakan beberapa di antara penyakit masyarakat (pekat) yang membudaya di Ranah Minangkabau di permulaan abad ke sembilan belas. Tradisi ini lumrah dilakukan kaum adat ketika itu sehingga terjadilah pertentangan berkepanjangan antara kaum adat dengan kaum ulama yang mengharamkan perbuatan tak bernilai syariat itu.
Semua perbuatan tersebut dilakukan segelintir kaum adat sebagai kegiatan perintang-rintang hati, permainan, untuk melalai-lalaikan waktu. Parahnya semua permainan itu punya taruhan, yang kalah harus membayar kepada yang menang. Tak urung keributan terjadi, bunuh membunuh, hingga rebutan perempuan. Kondisi ini lambat laun merusak tatanan masyarakat Minangkabau.
Kondisi yang tidak sehat itu menjadi perhatian serius kaum ulama. Berbagai pendekatan sudah dilakukan namun tidak mangkus. Hingga di tahun 1802 pulanglah tiga orang ulama muda dari Mekah, yaitu Haji Miskin di Pandai Sikek (Luhak Agam), Haji Abdurrahman di Piobang (Luhak Limopuluh) dan Haji Muhammad Arif di Sumanik yang juga dikenal dengan Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar).
Ketiga ulama muda ini membawa ajaran Wahabi dari Mekah. Hamka dalam bukunya “Ajahku” (Djajamurni Jakarta, cetakan ketiga 1967: 26) menulis, di akhir abad kedelapan belas terjadi pergolakan politik di Mekah. Kaum Wahabi di negeri itu beraliran keras agar umat Islam kembali kepada ajaran tauhid yang asli dari Rasulullah. Gerakan itu mereka lakukan karena banyak umat Islam telah melakukan penyimpangan yang terlalu jauh dari ajaran Islam. Aliran ini didirikan oleh Syech Muhammad bin Abdil Wahhab. Paham Wahabi sempat menyebar keseluruh jazirah Arab hingga menaklukkan tanah Hejaz (Mekah-Madinah).
Keberhasilan kaum Wahabi di Mekah itu menimbulkan kesan di hati ketiga ulama muda asal Minangkabau; Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik. Usai menuntut ilmu di Mekah, mereka pun pulang kampung untuk mengamalkan ajaran Islam yang sejati. Mereka melihat orang Minang ketika itu baru berlabel Islam saja, tetapi belum mengamalkan Islam secara kaffah. Mereka pulang membawa semangat baru dan merindukan kejayaan Islam di Ranah Minangkabau.
Tentu saja ketiga ulama muda ini mendapat perlawanan yang keras pula dari kaum adat. Gejolak pun terjadi. Tuanku Sumanik mendapat perlawanan hebat di negerinya hingga ia terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin juga mendapat perlawanan yang tak kalah berat di Pandai Sikek hingga terpaksa pindah ke Ampek Angkek. Hanya Tuanku di Piobang yang tidak banyak mendapat tantangan.
Menyerahkah ulama-ulama itu? Tidak!. Haji Miskin kemudian mendapat teman seperjuangan yang setia di Agam. Mereka adalah Tuanku Nan Renceh di Kamang, Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Ladang Laweh, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalau dan Tuanku di Lubuk Aur. Kedelapan ulama ini bertekad sehidup semati dan mereka pun terkenal dengan sebutan “Harimau Nan Salapan”. Prinsip Harimau Nan Salapan, ajaran murni Islam harus ditegakkan di setiap nagari meskipun pedang harus bicara!.
Meski mendapat pertentangan di sana sini, namun banyak juga nagari-nagari di Agam yang masyarakatnya mulai kembali menganut ajaran Islam secara benar. Harimau Nan Salapan telah menjadi “penjaga akidah umat” yang selalu berada di garda terdepan. Satu persatu nagari-nagari di Agam ditaklukkan, yang melawan mereka bakar. Nagari yang takluk diangkat seorang Tuan Kadhi dan Tuan Imam. Tuan Kadhi untuk menjaga perjalanan hukum Syarak dan Tuan Imam untuk memimpin peribadatan sembayang dan bulan puasa. Maka segala penyakit masyarakat seperti judi, minuman keras, menyabung ayam dan mengadu balam lenyap. Perempuan mesti menutup rambutnya sebab rambut adalah aurat. Di setiap halaman rumah mesti ada batu hampar yang gunanya untuk membasuh kaki akan sembahyang.
Itulah sekelumit nostalgia tentang Harimau Nan Salapan. Cakar dan taringnya tajam dalam menegakkan falsafah Minangkabau, “adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar