Jumat, 01 Januari 2010

Mamak dan Kemenakan

Oleh: Muhammad Subhan

Semakin renggang saja hubungan kekerabatan antara mamak dan kemenakan di Minangkabau—Sumatera Barat. Marwah seorang mamak semakin menipis di mata kemenakan. Begitupun mulai banyak pula kemenakan yang tidak mengenal mamaknya.

Yang memprihatinkan, di media massa kerap kali muncul pemberitaan yang memalukan terkait perilaku seorang mamak terhadap kemenakannya. Ada mamak yang dibekuk aparat gara-gara menodai kesucian kemenakannya sendiri. Ada pula mamak yang dihakimi massa karena menyelingkuhi istri orang atau istri kemenakannya. Dan, ada pula mamak yang ribut dengan kemenakan mempersoalkan harta warisan hingga berujung ke meja pengadilan.

Yang tak kalah ironis, wibawa seorang mamak semakin hilang ketika melihat sikap kemenakan yang tak lagi mematuhi norma-norma adat dan agama. Kemenakan perempuan berusia anak baru gede (ABG) tak sungkan lagi berjalan di muka seorang mamak dengan penampilan ‘baju tak salasai’ (you can see). Sapaan kepada mamak pun mulai dilencengkan. Anak-anak sekarang lebih senang menyapa mamaknya dengan panggilan “om” daripada memanggil nama “mamak” yang lebih beradat. Terdengar kuno bagi mereka jika tetap menyapa “mamak” agaknya. “Om, lebih keren terdengar,” ujar mereka.

Gejala tersebut tidak dipungkiri akibat besarnya pengaruh media massa (televisi) dan perubahan drastis budaya di tengah masyarakat. Disamping pendidikan rumah tangga yang menjadi tanggung jawab orangtua semakin lemah, juga akibat minimnya syiar agama kepada generasi muda. Semua fenomena itu dengan sendirinya membentuk mental seorang anak untuk ‘liar’ terhadap lingkungannya dan tidak mudah menaati nasihat mamak maupun orangtuanya sendiri. “Anak sekarang sangat sulit diatur,” kata seorang ibu.

Filosofi adat “anak dipangku kamanakan dibimbiang” juga semakin menghilang di lingkungan masyarakat adat. Hal ini terjadi akibat peran mamak sepenuhnya sudah diambil alih orang tua si anak. Tak jarang antara orang tua dan si mamak bertengkar karena mamak dianggap terlalu mencampuri urusan rumah tangganya. Orang tua sekarang dengan leluasa berkata bahwa anaknya adalah tanggung jawabnya, apapun yang terjadi pada diri si anak tidak mesti lagi tanggung jawab mamak.

Kemiskinan ekonomi seorang mamak juga turut menjadi faktor perubahan itu. Seorang mamak yang miskin, apalagi yang ekonominya tergantung pada orangtua si kemenakan, tidak lagi punya taring menegur si kemenakan jika tindak tanduknya keluar dari norma adat. Maka lahirlah masyarakat individual yang bukan saja ada di lingkungan masyarakat perkotaan namun mulai menjamah masyarakat di nagari-nagari.

Semua fenomena itu tentu tidak akan terus terjadi jika lembaga-lembaga adat dan ninik mamak kembali bertegas-tegas menyikapi perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Budaya “menegur” perlu terus ditingkatkan. Budaya “menegur” ini, tahun lalu, telah dipelopori oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) kota Bukittinggi. Bukittinggi, kota kecil yang menuju metropolis, diamati MUI mulai dirasuki budaya global yang mempengaruhi perilaku generasi muda. Di sejumlah objek wisata, tim MUI menemukan perilaku generasi muda yang berada diluar norma-norma kepatutan.

Dan, budaya menegur ini bukan hanya milik seorang mamak maupun ulama. Namun dituntut semua masyarakat berani bersikap untuk “menegur” segala bentuk kemungkaran yang terjadi dihadapannya. Tentu juga yang dituntut perannya adalah pemerintah daerah sendiri yang melalui aparatnya (petugas polisi dan satpol pp) untuk menindak segala bentuk penyimpangan moral itu. Artinya hukum harus benar-benar tegas agar memberikan efek jera kepada kelompok masyarakat yang melanggar. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar