Oleh Muhammad Subhan
DIAWAL Januari 1941, Kongres Muhammadiyah ke-29 akan diadakan di Yogyakarta. Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) ketika itu menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur. Sebelum berangkat ke Yogya, Buya Hamka singgah ke Sumatera Barat menemui ayahnya, DR. H. Abdul Karim Amrullah, atau yang luas dikenal sebagai “Inyiak DR”. Inyiak DR adalah ulama besar terkemuka di zamannya yang disegani oleh pemerintah Belanda dan tokoh yang mengibarkan Bendera Muhammadiyah di Sumatera, bahkan Indonesia.
Kedatangan Buya Hamka menemui Inyiak DR semata meminta nasihat jelang Kongres Muhammadiyah. Sebelumnya di masa itu Inyiak DR berkali-kali dipanggil pemerintah Belanda karena pemikirannya yang tajam membela Islam dan dianggap membahayakan. Karena dipanggil berkali-kali oleh pemerintah Belanda, Buya Hamka menyangka ayahnya akan dibuang/diasingkan. Namun kepada Buya Hamka beliau berkata, “Dibuang atau tidak, adalah perkara takdir Allah belaka. Ayah telah lakukan kewajiban ayah sedapat usaha”.
Maka dinasihatilah Buya Hamka untuk diteruskannya kepada pengurus Muhammadiyah seperti diungkapkan kembali Buya Hamka dalam bukunya “Ajahku, Riwayat Hidup DR H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera” (cetakan ketiga, Penerbit Djajamurni, Djakarta: 1967). “Cuma satu yang harus engkau sampaikan kepada Pengurus Besar Muhammadiyah. Tetaplah menegakkan agama Islam. Berpeganglah teguh dengan Alquran dan Sunnah! Selama Muhammadiyah masih berpegang dengan keduanya, selama itu pula ayah akan menjadi pembelanya. Tetapi kalau sekiranya Muhammadiyah telah menyia-nyiakan itu, dan hanya mengemukakan pendapat pikiran manusia saja, ayah akan melawan Muhammadiyah, biar sampai bercerai bangkai burukku ini dengan nyawaku!” Mendengar amanat ayahnya itu, Buya Hamka pun menyampaikan kepada Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres di Yogyakarta itu.
Semasa hidupnya, Inyiak DR merupakan seorang ulama yang tegas, berwibawa dan dicintai banyak umat pengikutnya. Beliau adalah seorang pemerang bid’ah, kurafat, tahyul, dan segala bentuk penyekutuan terhadap keesaan Allah SWT. Ulama-ulama yang dangkal ilmunya tak segan-segan ia debat. Bahkan, di tahun 1928, Inyiak DR pernah marah besar kepada Muhammadiyah. Di masa itu, dilihatnya tokoh-tokoh yang memimpin atau yang menjadi muballigh-muballigh Muhammadiyah umumnya di Sumatera Barat, khususnya di Sungai Batang Maninjau, kampungnya, hanyalah orang-orang yang pandai bicara saja. Kebanyakan muballigh-muballigh itu, baik yang laki-laki dalam Muhammadiyah dan yang perempuan dalam Aisyiah, hanyalah taklid buta kepada perbuatan-perbuatan sebagian ulama di Yogyakarta. Perempuan berpidato di hadapan kaum laki-laki menurut keyakinannya adalah haram, sebab dapat mendatangkan fitnah.
Tentang hal ini, di tahun 1930 terjadilah Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi. Panitia Kongres telah memutuskan seorang remaja putri Aisyiah bernama Siti Rasyidah yang berparas cantik akan berbicara di hadapan rapat yang dihadiri oleh laki-laki dan perempuan. Mendengar itu beliau marah besar. Sebuah buku beliau berjudul “Tjermin Terus” yang sengaja ditujukannya kepada pengurus Muhammadiyah sebelumnya telah terbit, menyatakan haram perempuan pidato dihadapan laki-laki karena perempuan adalah aurat. Itulah ijtihad beliau.
Sidang umum dua hari lagi digelar. Apa akal? Ketika itu yang menjadi Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah K.H. Mas Mansur dan beliau telah hadir. Maka semalam sebelum kongres digelarlah pertemuan dengan Inyiak DR. Dari pihak pengurus Besar Muhammadiyah hadir K.H. Ibrahim, K.H. Mas Mansur. K.H. Abdulmu’thi dan beberapa lainnya. Sementara dari pihak Inyiak DR hadir beliau sendiri, Syekh M. Djamil Djambek, dan Syekh Abdulwahab Amrullah, adik beliau.
Yang menjadi kunci penyelesaian masalah itu adalah sikap K.H. Mas Mansur. Beliau tidak menunjukkan sikap menentang tapi sikap menuntut ilmu. Jika Inyiak DR mengeluarkan dalil suatu alasan, K.H Mas Mansur menunjukkan pula alasan lainnya sambil meminta pertimbangan Inyiak DR. Dari dialog-dialog dengan K.H. Mas Mansur itu akhirnya Inyiak DR mengakui kalau alasan-alasan yang dikemukakan K.H. Mas Mansur itu berdasar pula. Maka, atas diskusi yang bijak itu, disaksikan para ulama lainnya, dapatlah sebuah benang merah bahwa perempuan berbicara di hadapan laki-laki tidak sampai jatuh pada hukum haram, melainkan hanya makruh saja.
Itulah sekelumit sosok Inyiak DR. Ulama yang tegas memegang prinsip agama, namun lunak jika lawan bicaranya punya dalil dan alasan kuat yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Bukan sekedar hasil pemikiran tanpa dasar yang sering dikumandangkan oleh aktivis-aktivis Jaringan Islam Liberal untuk merusak Islam dari dalam. Wallahua’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar