Oleh: Muhammad Subhan
Sudah tiga hari saya menunggu di rumah paska lebaran. Saya dengar, pejabat di rumahnya “open house” menunggu bawahan atau pengusaha rekan bisnisnya. Di rumah saya pun “open house” pula menunggu siapa saja yang mau datang. Harapan saya, para pejabat yang dulu saya pilih dalam Pilpres, Pilleg, Pilgup, Pilbup, Pilwako, Pilwana, dan pil-pil lainnya berkenan datang ke rumah saya. Yah, untuk menengok-nengoklah bagaimana nasib rakyatnya, saya ini salah seorangnya. Tapi selama tiga hari itu pula tak seorang pun di antara mereka yang datang, kecuali anak-anak tetangga yang antri minta THR recehan.
Sebagai rakyat saya tentu sedih rumah saya tidak dikunjungi para pejabat itu. Kalaulah seorang saja di antara mereka datang, tentu sangat berbunga-bungalah hati saya. Seumur hidup akan saya kenang kunjungan istimewanya itu ke gubuk saya. Tapi saya hanya bermimpi, karena orang kecil seperti saya ini tidak mungkinlah dikunjungi pejabat yang konon sangat sibuk mengurusi tugas-tugas jabatannya. Siapalah saya ini yang bukan siapa-siapa. Okelah saya kenal dengan si pejabat itu, tapi saya pesimis pejabat itu akan mengenal saya.
Tapi tak apalah, saya sudah berniat baik memberikan hak suara saya kepada para pejabat itu yang sekarang menduduki kursi jabatannya. Saya tidak akan menuntut kewajibannya terhadap hak suara yang sudah saya berikan itu. Saya ikhlaskan saja. Semoga dicatat Allah SWT sebagai amal ibadah buat saya kelak di Yaumul Qiamah, amin.
“Open house” di rumah pejabat agaknya sudah menjadi tradisi sejak pemerintahan di negeri ini ada. Sudah turun temurun kata orang. “Open house” bahasa sederhananya, di hari lebaran pertama dan kedua, rumah seseorang terbuka menerima siapa saja yang datang. Tradisi ini umumnya dilakukan para pejabat, mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota bahkan camat dan lurah. Niatnya tentu baik, membangun silaturahmi antara atasan dan bawahan, antara pejabat dan rakyat.
Namun, setiap kali “open house” itu tentu rakyat yang datang berkunjung ke rumah pejabat bisa dihitung jari, jumlahnya minus. Karena umumnya rakyat tidak diundang. Kalaupun diundang canggung pula mereka datang. Yang banyak datang tentu saja bawahan para pejabat itu, baik yang diundang maupun yang tidak diundang. Jika bupati atau walikota yang “open house”, sudah pasti yang datang adalah para camat, lurah, kepala SKPD, staf hingga office boy. Tradisi inipun seperti tradisi “setor muka” kepada atasan. Para bawahan itu jika tidak datang bakal ditandai wajahnya, disebut tidak loyal. Apalagi jika atasannya galak, akan mendeliklah matanya jika bertemu nanti karena merasa tidak dihargai.
Maka, “open house” menjadi acara seremonial yang urgen setiap kali lebaran Idul Fitri tiba. Protokoler paling sibuk mengatur acara. Bagian konsumen menyiapkan penganan untuk dimakan. Bagian perlengkapan mengatur meja, kursi, hingga sound system. Penyambut tamu pun disiapkan khusus pula. Namun pertanyaannya, benarkah “open house” ini terasa manfaatnya bagi para bawahan, disamping upaya melanggengkan jabatan si pejabat?
Selayaknya “open house” itu ditiadakan karena cenderung menghambur-hamburkan uang negara, kecuali jika seluruh kebutuhan dirogoh dari kantong pribadi si pejabat. Dan, biasanya di masing-masing kantor pemerintahan/swasta dilakukan acara halal bi halal. Saat itulah si pejabat selayaknya hadir mengunjungi bawahannya, saling bermaaf-maafan. Sebab, tanpa bawahan seorang pejabat bukanlah apa-apa. Semua tugas-tugas yang dilakukannya berjalan lancar dan baik lantaran bantuan bawahannya. Sepatutnya si pejabat menemui bawahannya, bukan sebaliknya.
Tapi lagi-lagi suasana seperti itu hanya sebuah mimpi bagi para bawahan. Mereka dituntut patuh dan tunduk pada semua perintah atasan. Yang terlalu kritis apalagi melawan bakal ditindak. Maka yang terjadi kemudian adalah lahirnya atasan-atasan yang ditakuti, bukan atasan-atasan yang diayomi karena kebijaksanaan dan kearifannya. Selamat Lebaran! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar