Sabtu, 02 Januari 2010

Tahanan


Oleh: Muhammad Subhan

Menjadi tahanan tentu tidak mengenakkan. Penjaralah tempatnya. Kiri kanan dinding batu. Depan belakang jeruji besi. Ruangan yang dihuni sempit, lembab dan pengab. Tak ada kasur empuk. MCK pas-pasan. Makan tak enak. Tidur tak nyeyak. Setiap waktu menghitung hari, kapan menjadi manusia bebas kembali.

Orang yang menjadi tahanan biasanya mereka yang secara hukum diputuskan pengadilan bersalah atau terbukti melakukan kejahatan. Kejahatan itu bisa berupa pencurian, perampokan, pembunuhan, penggelapan, pemerkosaan, dan segala bentuk kejahatan lainnya sesuai hukum yang dilanggarnya. Para tahanan ini pun menyandang status nara pidana (napi).

Lama masa penahanan itu relatif. Tergantung vonis yang ditetapkan hakim di pengadilan sesuai kadar kejahatan yang dilakukan si tahanan. Ada yang lima bulan, satu tahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, maupun seumur hidup.

Masing-masing tahanan tentu tidak ada yang senang menyambut vonis itu. Resah dan gelisahlah jiwanya. Mereka tak lagi menjadi manusia merdeka. Begitupun keluarga mereka, terutama istri dan anaknya, ikut menderita menunggu orang yang dikasihinya bebas dan dapat berkumpul kembali kepada mereka.

Penjara, bui, lapas, tangsi, atau apapun namanya yang dihuni para tahanan itu dibuat untuk memberikan efek jera kepada mereka yang melakukan kejahatan. Selama menjalani masa penahanan itu, ada yang benar-benar tobat lalu ketika keluar menjadi manusia baik dan dapat kembali diterima di tengah masyarakatnya. Namun ada juga manusia yang meski sudah berkali-kali masuk-keluar penjara, namun tak juga jera. Penjara baginya bukan tempat intropeksi diri, tapi tempat mengatur strategi kejahatan apalagi yang bisa dilakukan setelah keluar nanti.

Ibadah puasa, hakikatnya adalah menahan. Yang ditahan khususnya, adalah makan dan minum. Orang yang berpuasa pun menjadi tahanan dari segala kejahatan yang berpeluang dilakukannya. Seluruh organ tubuhnya ikut menahan segala sesuatu yang dapat mencederai puasa. Lisannya ditahan untuk tidak mempergunjingkan aib orang lain. Matanya ditahan untuk tidak melihat segala sesuatu yang diharamkan untuk dilihat, seperti menonton film porno, melihat gambar-gambar tidak senonoh, ataupun melihat aurat orang lain. Telinganya ditahan untuk tidak mendengar kata-kata kotor. Tangannya ditahan untuk tidak mengambil hak orang lain. Kakinya ditahan untuk tidak melangkah ke tempat-tempat maksiat.

Selama masa penahanan yang ditentukan waktunya itu, jiwa orang yang berpuasa menjadi bersih dan suci. Hubungan vertikalnya dengan Allah SWT yang memerintahkan ibadah puasa semakin baik yang tercermin juga dari ibadah shalat yang dilakukannya selama bulan puasa, baik shalat lima waktu, terawih, witir, tahajud, dhuha, maupun rawatib. Hubungan vertikal yang baik itu memantul pula pada hubungan horizontal kepada sesama manusia. Orang-orang yang berpuasa, setelah bebas dari masa menahan itu, kedermawanan sosialnya semakin tinggi. Selama berpuasa, ia merasakan lapar dan dahaga. Dia akan berkata, oh, begini ya rasa lapar dan haus itu. Oh, begini ya, orang miskin merasakan lapar dan dahaga. Maka, keluarlah sifat kedermawanannya untuk membantu orang-orang miskin yang tidak memiliki apa-apa di rumahnya untuk dimakan. Tidak hanya di bulan puasa namun juga di bulan-bulan lainnya kedermawanannya meningkat.

Dan, orang-orang yang “ditahan” selama bulan puasa itu, usai Ramadhan mereka menjadi manusia-manusia yang menang secara lahir dan batin. Mereka pun merayakan hari kemenangan bernama Idul Fitri. Sebaliknya, ada juga manusia yang menjadi “tahanan” selama bulan puasa namun setelah keluar dari Ramadhan tidak menemukan hari kemenangan itu. Jiwanya kembali gelisah dan resah layaknya jiwa orang-orang tahanan sebenarnya di dalam penjara. Itu terjadi lantaran selama puasa mereka tidak benar-benar menahan seluruh organ tubuhnya dari maksiat. Meski perutnya menahan lapar dan dahaga, namun matanya tidak ditahan dari melihat film/gambar porno, lisannya selalu membuka aib orang lain, harta haram tetap masuk ke perutnya, tangannya mengambil hak orang lain atau melakukan korupsi, kakinya melangkah ke tempat-tempat maksiat. Bagi orang-orang seperti ini tentu saja tidak ada hari kemenangan baginya. Merugilah mereka sepanjang masa hingga ia kembali bertobat untuk menjadi manusia sesungguhnya.

Semoga saja, kita, selama menjalani masa “tahanan” di bulan suci ini, benar-benar mampu melewati segala ujian yang dapat merusak ibadah kita. Dan, di hari kemenangan nanti, kita kembali menjadi manusia suci, layaknya baru terlahir ke dunia yang fana ini. Wallahu a’lam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar