Oleh: Muhammad Subhan
Mulia benar pepatah awak, “Karakatau Madang Diulu, Babauah Babungo Balun. Marantau Bujang Daulu, di Kampuang Paguno Balun”. Karena pepatah itu pula ‘urang saisuak’ di masa muda mereka beramai-ramai meninggalkan kampung halaman menuju daerah-daerah perantauan di berbagai pelosok tanah air, bahkan keluar negeri. Mengadu nasib. Dan, memang banyak yang berhasil.
Sutan Ongeh salah seorangnya. Beberapa tahun lalu dia tinggalkan kampung halaman merantau ke Jakarta ikut semendanya berdagang di pasar Tanah Abang. Dia merantau bukan karena belum berguna di kampung, tapi memang tidak berguna sama sekali. Semasa di kampung kerjanya cuma berjudi saja di lepau, mengganggu anak gadis orang yang lewat ke surau, menyabung ayam, dan suka begadang sambil mabuk-mabukan sesama teman sebayanya yang tak berguna pula.
Penat sudah orang kampung melihat perangai dia. Bermacam nasihat tak lagi termakan olehnya. Pak Kapolsek sudah bosan pula menangani kasusnya yang itu keitu saja. Tak jera-jera dia. Tak peduli dia sudah buat malu ninik mamaknya di kampung. Hukum adat pun hendak ditalakkan kepada dirinya, tapi menimbang raso dan pareso juga lembaga adat masih memberi belas kasihan. Maka, ketika semendanya pulang kampung, seorang mamaknya berbisik agar Sutan Ongeh diajak serta merantau ke Jakarta. Semendanya setuju. Sutan Ongeh setuju pula.
Di Jakarta Sutan Ongeh membantu semendanya berdagang kain. Singkat cerita, seiring tahun berganti, sukseslah dia berniaga di Ibukota. Sudah punya toko kain pula dia sekarang. Mainnya ekspor-impor. Jiwa bagaknya semasa di kampung dulu menjadikan dia orang cukup disegani di Tanah Abang. Tak seorang jua preman mengganggu usaha dia.
Karena sudah merasa berhasil di negeri orang, teringatlah Sutan Ongeh pada kampung halaman. Apalagi sekarang sudah berbini pula dia. Gadis Betawi pilihannya. Cantik tentunya. Buah perkawinannya itu dapatlah dia dua orang putra, gagah-gagah perawakannya. Seperti dirinya semasa muda dulu.
Sebagai perantau sukses tentu telah necis pula gayanya. Pulang ke kampung beroto sedan. Ada ajudan pula yang jadi sopirnya. Dasar Sutan Ongeh, ongeh pula cara dia bicara, berjalan, dan makan. Melihat orang dengan sudut mata saja. Karena dia sudah jadi orang kaya segan juga orang kampung kepadanya.
Salah seorang kawannya di masa muda dulu, Sutan Ongok, tak mau berdekat-dekat dengan dia. Takut tertular sifat “ongeh” si Sutan Ongeh. Biarlah mancalik-calik saja dari jauh, katanya. Sejak “jadi orang” di rantau, Sutan Ongeh memilih-milih kawan pula. Begitupun, kalau diminta menderma di surau, dia sebutkan kepada pengurus surau agar menulis namanya besar-besar di papan pengumuman; “Infak dari Sutan Ongeh (Jakarta) sebesar Rp15 juta”. Meski pengurus tahu itu riya, tapi karena surau juga butuh uang, diterima saja permintaan Sutan Ongeh. Yang penting ada pemasukan. Kalau tidak siapa pula yang akan menyumbang ke surau, pikir pengurus. Jemaah biasa paling beri infak uang recehan.
Semakin muaklah Sutan Ongok melihat perangai Sutan Ongeh. Dari dulu hingga sekarang tak lepas-lepas ongehnya. Tercium juga kalau Sutan Ongeh berminat pula jadi calon “kada”, maksudnya calon kepala daerah. Ya, helat Pilkada tak lama lagi digelar. Gelagatnya itu terlihat sejak akhir-akhir ini dia sering pulang kampung, membuat acara ini-itu. Jika benar maksudnya ingin jadi “kada”, ini yang membuat resah Sutan Ongok. Akan jadi apa negeri ini kalau punya pemimpin ongeh seperti itu?
Tapi dia tak mau ambil pusing. Usai shalat Ashar di surau, Sutan Ongok berdoa dengan amat khusyuk: “Ya Rabbi, pertemukan kami kepada pemimpin-pemimpin yang amanah. Bertanggung jawab dan berjiwa mulia. Jauhkan kami dari pemimpin-pemimpin jahat yang mementingkan diri dan kelompoknya saja. Ya Allah, jadikan kami rakyat yang pandai bersyukur dan bersabar dalam menghadapi setiap ujian, amin tsumma amin… []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar