Jumat, 12 Februari 2010

Saya, di Sebuah Persimpangan Titik Balik Hidup


Oleh: Muhammad Subhan

Sejak kecil, saya terobsesi ingin menjelajahi dunia. Maka, menjadi wartawan adalah pilihan hidup saya. Meski saya tahu, dunia wartawan bukanlah dunia yang bisa mewujudkan impian dalam sekejap. Berbagai tantangan pasti akan saya hadapi. Bahkan, ibu kandung saya, awalnya tak merestui niat saya menjadi wartawan. Dalam benak ibu, menjadi wartawan artinya saya harus siap menjadi ‘orang miskin’.

Meski tidak selalu benar, namun logika ibu masuk akal. Delapan tahun melanglang buana diberbagai media, hidup saya biasa-biasa saja. Bahkan selama empat tahun saya sempat berjalan kaki memburu berita. Tak punya sepeda motor, alat komunikasi, apalagi komputer. Gaji pas-pasan. Namun empat tahun kemudian, sesudah masa-masa ujian itu, alhamdulillah hidup saya mulai menampakkan perobahan. Bahkan, setelah ibu menjanda, kebutuhan ibu dan tiga orang adik sayalah yang menafkahi. Semua dari hasil keringat saya sebagai wartawan. Cita-cita yang semula tidak direstui ibu itu.

Meski tidak restu, tapi kasih ibu terhadap saya tidak berkurang. Ia benar-benar sangat menyayangi saya, juga kepada ketiga adik saya. Ibulah yang selalu memotivasi saya agar giat bekerja. Meski ia sedih tak bisa membantu lantaran sakit, tapi keteguhan jiwanya, kesabaran dan kesalehannya, menjadi pemicu semangat saya untuk dapat membahagiakannya kelak, membuatkan rumah, atau mewujudkan impiannya agar bisa menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji ke Tanah Suci.

Saya lahir di Medan 3 Desember 1980. Sejak kelas 2 SMP saya telah menulis. Di SMP pula, saya sempat memprakarsai terbitnya majalah dinding. Hobi menulis berlanjut hingga SMA dan kuliah. Masa SMP dan SMA saya habiskan di Kruenggeukueh, Aceh Utara. Meski gelar sarjana tidak mampu saya raih hingga kini, namun setidaknya saya pernah mengenyam dunia kampus, khususnya di Jurusan Manajemen, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perdagangan, Padang dan Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah, Sekolah Tinggi Agama Islam, Yayasan Kebangkitan Islam (STAI-YKI), Sumatera Barat di Padang.

Seringkali orang bertanya, mengapa saya tidak menyelesaikan kuliah. Saya menjawab, ketika itu saya benar-benar fokus bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan ibu dan ketiga adik saya yang masih sekolah. Memang, sebuah pilihan pahit. Hasrat hati ingin kuliah, tapi selalu berbenturan dengan masalah keuangan. Kuliah tidak sedikit menghabiskan uang, sementara di rumah ibu butuh obat, makanan, dan adik-adik juga harus sekolah agar masa depan mereka lebih baik dari saya. Setiap kali orang bertanya tentang kuliah, saya merasa sedih. Bahkan, setiap kali meliput acara wisuda beberapa perguruan tinggi, tak jarang diam-diam saya menahan air mata.

Bisa dibilang, sejak kecil saya belum pernah merasakan hidup berkecukupan. Almarhum ayah saya, Abdul Manaf, hanya seorang pekerja kasar. Ibu saya seorang buruh cuci yang mengharapkan upah dari satu rumah ke rumah lain. Penghasilan kedua orang tua saya hanya cukup untuk sehari makan dan menyimpan sedikit uang untuk membayar kontrakan rumah. Kami tidak pernah memiliki rumah sendiri, selalu pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya.

Meski hidup miskin, saya sangat bangga dengan kedua orang tua yang pekerja keras. Nasihat ayah yang sangat saya cintai selalu memotivasi saya. Ayah sering bilang, jangan pernah menyerah dengan keadaan, terus berjuang, dan jangan meminta-minta. Kata-kata itu lekat terpatri dalam benak saya untuk merobah keadaan. Saya bertekad, suatu saat nanti saya harus bisa membahagiakan orang tua.

Sampai kelas 2 SD, saya tinggal bersama orang tua di Medan. Ketika naik kelas 3 SD, kami pindah ke Lhokseumawe, Aceh Utara. Di kota itu ayah bekerja sebagai tukang sol sepatu. Setiap pagi, usai sarapan dan minum secangkir kopi, saya lihat ayah menyandang ransel berisi peralatan menjahit sepatu. Pekerjaan itu dilakukan ayah karena ayah bukanlah seorang yang berpendidikan tinggi. Ayah tidak tamat SMP, begitu juga ibu, hanya tamatan SD.

Di awal-awal bekerja sebagai tukang sol sepatu di daerah yang baru, benar-benar terasa sangat berat dan sulit. Bahkan seharian tak ada orang yang memanfaatkan jasa ayah. Dengan raut wajah sedih, ayah sering pulang dengan tangan hampa, tanpa membawa apa-apa. Sering pula saya dengar ayah dan ibu cekcok hanya gara-gara persoalan tak ada uang untuk belanja. Namun ayah adalah seorang yang sangat sabar. Ibadahnya rajin, doanya panjang, dan ayah sangat menyayangi saya dan adik-adik.

Ketika duduk di bangku SMA, dengan inisiatif sendiri saya membantu ayah bekerja. Saya pun belajar menjahit sepatu. Awalnya ayah tidak setuju, namun karena keseriusan saya membantu ayah, akhirnya pekerjaan itu pun kami lakoni berdua. Terkadang, ketika ayah sakit, sayalah yang menggantikannya bekerja.

Bekerja sebagai tukang sol sepatu bukanlah pekerjaan menjanjikan. Nasib-nasiban. Terkadang ada orang, terkadang pula tidak ada sama sekali. Sehari hanya dua tiga orang yang memanfaatkan jasa tukang sol sepatu. Uang yang paling banyak dibawa pulang sehari tidak lebih dari Rp15.000. Dengan penghasilan yang sangat kecil itulah ayah menafkahi kami dan menyekolahkan saya dan adik-adik.

***

Tanggal 15 Maret 2000, adalah hari bersejarah dalam hidup saya. Orang yang paling saya cintai, ayah, berpulang ke Rahmatullah dalam usia 62 tahun. Ujian yang teramat berat kami rasakan. Pupuslah harapan saya untuk membahagiakan ayah kelak. Ketika itu usia saya masih sangat belia.

Sebelum ayah meninggal, saya pernah menyampaikan kepada ayah bahwa saya akan melanjutkan pendidikan ke kota Padang, Sumatera Barat. Saya ingin kuliah di sana. Namun agaknya ayah tidak setuju. Ayah berharap saya dapat membantunya bekerja setamat SMA karena usia ayah telah lanjut dan sering sakit-sakitan. Agaknya persoalan itu menjadi pikiran ayah. Beberapa hari setelah itu ayah jatuh sakit. Ia terkena stroke. Tiga hari kemudian ayah meninggal dunia.

Ketika itu, saya, ibu, dan ketiga orang adik benar-benar tidak siap kehilangan ayah, tulang punggung keluarga. Pendidikan saya di SMA tinggal beberapa bulan lagi tamat. Sempat saya berniat untuk memutuskan sekolah karena tak punya uang membayar biaya sekolah. Namun, atas motivasi guru-guru di sekolah serta kemauan untuk terus belajar, saya berhasil menamatkan SMA dengan hasil memuaskan.

Sepeninggal ayah, Nurhayati, ibu saya, juga mulai sakit-sakitan. Rematik dan asam urat menyerang tubuhnya. Mulanya ibu bekerja sebagai buruh cuci dan sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang camat. Namun sejak ibu sakit, tak ada lagi orang yang membantu mencari nafkah. Siang malam saya berpikir apa yang bisa saya kerjakan untuk membantu ibu dan adik-adik yang masih kecil dan harus bersekolah. Seorang adik laki-laki saya ketika itu masih duduk di kelas 2 MAN (Madrasah Aliyah Negeri), dan dua adik perempuan saya, satu di kelas 6 SD dan satu lagi kelas 2 SD. Saya sangat berharap mereka mampu menyelesaikan pendidikan meski hanya sampai sekolah menengah.

***

Setamat SMA, saya menyampaikan kepada ibu agar pulang saja ke Sumatera Barat. Ayah saya asal Aceh, ibu Minang. Kampung halaman ibu di sebuah desa kecil bernama Kajai di Pasaman Barat. Mulanya ibu menolak pulang kampung. Namun, setelah saya berangkat sendiri melihat kampung ibu, saya lihat banyak sanak famili ibu. Namun, sayangnya kampung itu berada di kawasan pedalaman dan bukan daerah berkembang. Mayoritas masyarakatnya juga berpenduduk miskin.

Setelah bermusyawarah dengan sanak famili ibu di kampung dan menceritakan keadaan keluarga di Aceh sepeninggal ayah, mereka setuju agar ibu dan adik-adik dibawa saja ke kampung. Akhirnya saya kembali ke Aceh menjemput ibu dan adik-adik. Setelah saya yakinkan bahwa keadaan hidup akan berobah di Sumatera Barat, akhirnya dengan berat hati ibu pun berkenan pulang kampung. Sakit asam urat ibu yang sudah akut menyulitkan ibu berjalan jauh. Ibu harus dipapah naik turun bis. Biaya keberangkatan itu, pada pertengahan 2000, semua perabotan yang ada di rumah kontrakan peninggalan almarhum ayah kami jual sebagai bekal perjalanan.

Setelah membawa ibu dan adik-adik pulang kampung, saya pun merantau ke kota Padang. Kota yang baru pertama kali saya jamah seumur hidup itu terasa menyeramkan, karena disana saya tak punya siapa-siapa. Berbagai pekerjaan pun saya coba lakukan. Mulanya saya menjadi salesman menjual barang-barang yang saya ambil dari sebuah perusahaan. Namun pekerjaan itu saya rasakan bertentangan dengan nurani. Beberapa perusahaan tempat saya bekerja saya tinggalkan begitu saja. Selain gaji kecil, kerja yang dilakoni pun terasa sangat berat.

***

Sejak kecil, ayah telah mengajarkan kami anaknya ilmu agama. Saya juga sempat belajar mengaji di sebuah balai pengajian. Dengan kemampuan sedikit ilmu agama itulah, ketika merantau di Kota Padang, saya berinisiatif bekerja menjadi gharin di sebuah mushalla di kawasan Air Tawar Barat, Padang. Tugas gharin adalah membersihkan mushalla, azan, imam, bahkan ceramah agama disaat ustaz yang diundang berhalangan hadir.

Pilihan menjadi gharin saya lakukan lantaran saya tidak juga menemukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saya sering merasakan pedihnya menahan lapar. Dengan menjadi gharin saya pun mendapat jatah beras dan sedikit uang lauk pauk. Saya juga mengajarkan anak-anak sekitar mengaji. Selama menjadi gharin itulah kematangan diri saya mulai terasah.

Pengabdian menjadi gharin saya jalani sejak tahun 2000 hingga 2004. Di akhir tahun 2000, selain tetap menjadi gharin saya mulai menulis di surat kabar, khususnya di sejumlah koran mingguan yang ada di kota itu. Di akhir tahun itu pula saya mencoba melamar menjadi wartawan di sebuah surat kabar mingguan.

Pertama kali terjun di dunia jurnalistik, mulanya saya berpikir pekerjaan wartawan adalah kerja yang menjanjikan dengan gaji besar. Ternyata harapan saya keliru, jauh panggang dari api. Sepanjang tahun 2000-2004, beberapa koran mingguan tempat saya bekerja itu tak satupun yang memberikan gaji layak selayaknya seorang pekerja profesional. Bahkan pernah saya berpikir untuk berhenti menjadi wartawan, namun keinginan itu cepat-cepat saya pupus karena dunia wartawan setelah saya renungi memiliki banyak kelebihan. Dengan menjadi wartawan, wawasan saya terus bertambah karena informasi terbaru selalu saya dapat setiap hari di media. Begitu pula, menjadi wartawan saya menemukan banyak kawan. Dan menjadi wartawan, saya pun berkesempatan mengunjungi daerah-daerah yang belum pernah saya datangi, baik di Sumatera Barat maupun beberapa daerah lainnya di Indonesia dalam berbagai perjalanan jurnalistik yang ditugaskan kepada saya.

Di tahun 2004, saya meninggalkan pekerjaan sebagai gharin. Hal itu saya lakukan semata untuk memfokuskan bekerja menjadi wartawan. Pilihan yang berat karena awalnya jemaah mushalla tempat saya tinggal keberatan melepas kepergian saya. Namun karena tekad yang kuat akhirnya saya pun berhenti menjadi gharin.

Di tahun itu pula, saya bekerja di Harian Mimbar Minang Padang. Namun hanya dua tahun saya mampu bertahan lantaran koran itu bangkrut dan menjadi koran mingguan. Jika saya kembali bekerja di koran mingguan, itu artinya saya gagal dan tidak ada kemajuan. Bersama beberapa kawan, usai melakukan perjalanan jurnalistik ke Aceh pascatsunami, saya pun mendirikan koran Harian Serambi Minang Padang. Namun koran itu hanya bertahan 3 bulan lantaran kehabisan modal.

Di akhir tahun 2004, saya diterima bekerja di Harian Haluan Padang, yang merupakan surat kabar tertua di Sumatera Barat. Mulanya saya tidak menyangka akan diterima di koran itu karena saya tidak memiliki ijazah sarjana, namun lantaran surat lamaran yang saya kirimkan banyak melampirkan sertifikat dan piagam penghargaan belasan pelatihan jurnalistik yang pernah saya ikuti, atas pertimbangan itulah saya diterima bekerja.

Selama bekerja di Harian Haluan kemampuan jurnalistik saya semakin terasah. Saya pun sering ditugaskan meliput kegiatan-kegiatan penting ke sejumlah daerah. Beberapa kali kunjungan Presiden dan Wakil Presiden serta menteri-menteri ke Sumatera Barat, sayalah yang diberikan tugas meliput. Alhamdulillah, kemahiran saya sedikit di bidang fotografi menghantarkan saya menjadi fotografer koran Haluan selama lebih kurang dua tahun. Begitu pun kesenangan saya menulis feature yang mengangkat berbagai persoalaan human interest masyarakat kelas grassroot membuat nama saya cepat dikenal.

Di awal 2007, oleh Pemimpin Redaksi Haluan saya ditugaskan ke Kota Bukittinggi dan diangkat menjadi Kepala Perwakilan Haluan di Kota Wisata itu. Penugasan itu tentu saja saya terima. Selama di kota itu pulalah saya mengembangkan diri. Di sisa-sisa waktu luang saya menjelajah dunia melalui internet. Saya pun berkawan dengan banyak orang di berbagai belahan dunia.

Awal 2009 lalu, saya mendapat kesempatan bergabung dalam manajemen Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar. Sastrawan besar Indonesia asal Sumatera Barat itu membangun rumah yang didedikasikan khusus untuk pengembangan dunia sastra Indonesia khususnya di Sumatera Barat. Di Rumah Puisi ini saya diamanahkan jabatan sebagai Manager Program. Saya pun bisa bertemu dengan banyak sastrawan dan guru-guru sastra yang berkunjung ke sana. Di sampung itu, 7.000-an judul buku koleksi Taufiq Ismail, merangsang minat baca saya yang selama ini haus lantaran tak mengecap pendidikan tinggi.

***

Orang yang paling bahagia atas semua perobahan hidup saya itu, tentulah ibu. Ibu yang kasihnya sepanjang jalan tak pernah berhenti berdoa siang malam untuk kebahagiaan saya. Bahkan, ketika saya menikah ibu ingin tinggal di kampung saja bersama famili di sana. Ibu ingin melihat saya bahagia bersama istri dan tidak memberatkan saya. Tentu saja, keinginan ibu itu tidak saya kabulkan. Ibu tetap saya bawa ikut bersama saya, tinggal di rumah saya meski kami masih tinggal di rumah kontrakan, pindah dari satu rumah ke rumah lainnya jika habis tahun. Sekarang kami tinggal di Kota Padangpanjang, kota kecil berhawa sejuk di kaki gunung Merapi.

Satu hal lagi yang saya kagumi dari sosok ibu, adalah ibadahnya yang sungguh luar biasa. Shalat Dhuhanya tak pernah tinggal. Bahkan, kebiasaan ibu bangun setiap pukul 3.00 dini hari, shalat tahajud, shalat hajat, zikir dan doa yang khusyuk dan panjang. Usai shalat malam itu, ibu tidak tidur lagi, ia tilawah Alquran hingga jelang Subuh. Bahkan, di Subuh itu pula, ibu menyempatkan memasak untuk sarapan saya dan istri. Saya selalu melarang ibu bangun terlalu pagi karena saya kuatir akan mempengaruhi kondisi kesehatannya. Tapi ibu tetap melaksanakan semua pekerjaan itu yang seharusnya dikerjakan oleh istri buat saya.

Ya Allah, satu permohonan saya kepada Engkau, panjangkan usia ibu dan kabulkan doa-doa saya agar dapat membawa orang yang saya kasihi itu ke Tanah Suci Mekah. Sebagaimana impian ibu dan juga impian saya. Sungguh, saya dan ibu ingin mencium Hajar Aswad, menggelilingi Ka’bah dan juga wukuf di Arafah… []

Padang Panjang, Februari 2010

1 komentar: