Rabu, 24 Februari 2010
Sinopsis Novel ”Cinta di Kota Serambi” karya Irzen Hawer
Aku, Syamsu, hari itu diusir dari ruang kelas. Alasannya sepele, karena terlambat membayar uang SPP. Bukan itu saja, uang pembangunan yang jumlahnya lebih besar dari SPP tidak aku serahkan pada bendahara sekolah, karena telah aku habiskan buat jajan.
Sabtu itu, aku ingin menyerahkan uang pembangunan pada Bu Annisa Sorga, sang bendahara sekolah. Tetapi Bu Annisa Sorga sibuk mengurus pertandingan sepakbola. Dan kami disuruh ke lapangan untuk memberi semangat kesebelasan sekolah kami melawan kesebelasan sekolah lain. Maka aku berencana menyerahkan uang itu pada hari Senin saja.
Sepulang menonton pertandingan sepakbola, hujan turun sangat lebat. Aku berteduh di emperan toko. Sampai setengah tiga sore tanda-tanda hujan akan berhenti tidak nampak. Perutku sangat lapar, sementara tak jauh dari tempatku berteduh ada kedai bakso yang sebentar-sebentar aroma uap kuah bakso yang keluar dari periuk besar menari-nari di penciumanku.
Di saku celana hanya ada uang yang rencananya akan aku serahkan pada hari Senin ke bendahara sekolah. Ya, uang pembangunan. Maka berkecamuklah perang dalam diriku. Pikiranku melarang untuk tidak membelanjakan uang itu. Sementara perutku heboh meronta-ronta minta diisi. Akhirnya kehendak perutkulah yang menang. Tanpa rasa berdosa uang itu aku belanjakan. Makan bakso sepuasnya.
Tapi mulai saat itu, dalam pikiranku, sang bendahara sekolah berubah menjadi bentuk yang menakutkan. Tidurku mulai diganggu mimpi-mimpi buruk.
Dan, terjadilah peristiwa yang memalukan hari itu. Karena aku tak membayar uang pembangunan, akupun diusir dari ruang kelas secara tidak hormat. Aku pergi meninggalkan kelas diiringi tatapan wajah kawan-kawanku.
Ketika diusir dari kelas aku takut pulang. Aku keluyuran di pasar. Ketika hari beranjak siang perutku mulai lapar. Aku pun mengais-ngais sampah mencari apa yang bisa dimakan. Aku menemukan sepotong kue yang gepeng sebelah karena diinjak kaki orang. Kue itu aku makan. Setelah itu aku pergi ke rumah kakak dari ibuku yang tinggal di Jalan Kantin dekat pasar. Aku memanggilnya Mak Tuo. Mak Tuoku ini sangat pelit orangnya. Aku bekerja keras di rumahnya tanpa diberi makan, hanya diberi uang sedikit setelah itu aku disuruh pulang.
Tapi hari itu aku tidak langsung pulang. Aku main-main di persimpangan jalan raya memperhatikan kendaraan yang lewat. Waktu aku mau jajan ternyata uang yang diberikan Mak Tuo hilang. Lalu aku mencari-carinya ke tempat di mana aku lewat tadi. Tiba-tiba lenganku dicengkeram seorang lelaki dewasa, rupanya ayahku. Aku diseret pulang. Tiba di rumah aku disiksa ayah. Ayah benar-benar murka karena uang untuk sekolah aku habiskan buat jajan. Kemarahan ayah masuk akal, karena hidup kami susah, usaha ayah tidak berjalan normal.
Setelah ayah melunasi hutangku di sekolah, aku pun mulai terbebas dari himpitan perasaan bersalah dan dikejar-kejar dosa. Aku kembali masuk sekolah. Untuk menambah-nambah uang jajan, aku mulai jualan kue ’pinukuik’ yang diajak Lukman, sepupuku yang duduk di kelas enam. Kami jualan di Subuh hari jelang sekolah. Induk semangku adalah Tek Janah, ibu Minah teman sekelasku. Tek Janah berfamili dengan ayahku. Maka aku dan Minah sangat akrab.
Suatu hari aku menginap di rumah Mak Tuo bersama Lukman. Mak Tuoku itu bernama Asma. Dulu ia tamatan Diniyyah Puteri, dan sangat pandai berkisah. Malam itu kami mendengarkan kisahnya, tentang awal mula ia bertemu dengan Syamsuddin yang sekarang jadi suaminya. Kami memanggil suaminya dengan sebutan Pak Tuo. Pak Tuo tamatan Thawalib Putra Padangpanjang.
Di masa mudanya, setamat Thawalib, Syamsuddin berniat melanjutkan kuliah ke IAIN di Padang. Dia pulang kampung meminta biaya pada mamaknya (kakak ibunya), karena bapaknya telah meninggal dunia. Seluruh sawah ladang dikuasai mamaknya. Tapi, jangankan uang yang didapat, pertengkaranlah yang terjadi. Mamaknya karena emosi ingin mencelakai Syamsuddin. Syamsuddin bukanlah pemuda biasa saja, selama dia tinggal di asrama Thawalib dia juga belajar pencak silat pada seorang guru silat tua di Padangpanjang. Anak mamaknya juga ingin mencelakai dirinya, tetapi berhasil diatasinya. Karena Syamsuddin urung kuliah, dia jadi garin (penjaga masjid) di Kampung Manggis tempat dimana Asma tinggal.
Di Kampung Manggis adat istiadatnya sangat kuat. Di sinilah Asma, Mak Tuoku ini, menjalin cinta kasih dengan Syamsuddin. Tapi karena keduanya memiliki latar belakang pendidikan agama, dan status Syamsuddin sebagai garin masjid pula, percintaan mereka adalah percintaan tidak biasa. Ibarat menarik rambut dalam tepung, tepung tidak terserak rambut tidak putus. Cinta mereka adalah cinta monolog. Perasaan hati hanya tertuang dalam goresan pena dalam surat-surat cinta mereka yang romantis. Hal ini mereka lalui selama lima tahun. Penuh perjuangan dan pengorbanan.
Setelah aku duduk di bangku kelas tiga di SMP Negeri 1 Padangpanjang, datanglah musibah itu...
Tek Janah, emak Minah yang juga induk semangku meninggal dunia. Sepeninggal emaknya Minah hidup sebatang kara. Mengetahui emak Minah sudah meninggal, bapaknya yang telah bercerai dengan emaknya dan tinggal di Medan, datang ke Padangpanjang menjemput Minah dan membawanya ikut ke Medan. Bapak Minah ini telah lama tidak pulang-pulang karena telah beristri pula di negeri orang. Minah tidak mau, dia ingin menamatkan sekolahnya yang telah kelas tiga dan sebentar lagi tamat. Tetapi bapaknya tetap memaksa.
Sebelum Minah berangkat, Minah ingin menemuiku. Dia datang ke rumahku, tapi ketika itu aku belum pulang sekolah. Dia menyongsongku ke jalan dimana biasanya aku lewat pulang, juga mendatangi tempat-tempat dimana kami pernah bermain bersama.
Di sekolah, ketika sudah beberapa hari menemui bangku kosong tempat biasa Minah duduk, perasaanku mulai tak tenang. Aku was-was kalau-kalau telah terjadi sesuatu terhadap diri Minah. Belum usai pelajaran akupun beranjak pulang dan mencari Minah di rumahnya. Tapi Minah tidak kutemui di sana, hanya ada sebuah mobil sedan yang siap-siap akan berangkat. Dari seorang tetangga kuketahui bahwa Minah mencariku ke rumah sementara ketika itu aku masih di sekolah. Aku pun menyusulnya ke rumah, tapi lagi-lagi aku tak menemukannya.
Akupun menyusulnya ke tempat-tempat di mana kami biasa bersua dan bermain-main menghabiskan hari bersama kawan-kawan. Dengan berlari-lari kecil aku menuju jalan yang mungkin ia tempuh ketika mencariku. Tapi Minah tidak juga kelihatan. Aku cepat berlari kembali ke rumahnya. Dari jauh aku lihat mobil sedan di depan rumahnya tadi tidak ada lagi. Ternyata Minah telah berangkat. Kata familinya yang aku kenal, mungkin mobil yang membawa Minah itu singgah di Bukit Surungan, karena disana rumah orang tua bapaknya.
Aku pun meninggalkan Kampung Manggis dan berlari menuju Bukit Surungan di perbatasan kota. Tetapi tetap sia-sia. Minah telah berangkat, meninggalkan Padangpanjang. Aku terhenyak menghadapi realita itu. Di bawah tugu batas kota, dengan nafas yang tersenggal-senggal dan kepala yang berat, batinku berkecamuk. Pikiranku menerawang ke masa beberapa tahun silam ketika aku dan Minah masih bersama.
Air mataku tumpah. Setelah Minah pergi, aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupku.
Apa yang terjadi pada diri Syamsu sepeninggal Minah? Akankah mereka bertemu kembali setelah dewasa nanti?
Dapatkan novel “Cinta di Kota Serambi” dengan harga murah sekaligus menyaksikan peluncurannya oleh Wakil Walikota Padangpanjang dan mengikuti Seminar “Cara Hebat Jadi Penulis Novel” bersama Dianing Widya Yudhistira (Jakarta), Minggu 14 Maret 2010 di Gedung M. Syafei Padangpanjang.
Novel ini akan dibedah tuntas oleh Hj. Roidah (penulis 17 novel best seller asal Padang) dan Sulaiman Juned, S.Sn, M.Sn (penyair dan Dosen Institut Seni Indonesia Padangpanjang).
Segera daftar sekarang juga di Radio Bahana FM Padangpanjang. Informasi lebih lanjut tentang acara ini di nomor 081374442075.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar