Oleh: Muhammad Subhan
Bukittinggi sebagai Kota Perdagangan di Sumatera menyebabkan banyak orang datang untuk berniaga dan bermukim di daerah ini. Itu sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu ketika Bukittinggi masih menjadi daerah jajahan Belanda bersamaan dengan daerah-daerah lainnya di Sumatera. Keberadaan Jam Gadang yang dibangun Belanda serta adanya Pasar Atas dan Pasar Lereng telah menghipnotis banyak orang diluar Bukittinggi untuk datang ke kota ini.
Salah satu kelompok masyarakat yang datang bermukim di Bukittinggi adalah warga asal Aceh. Saat ini jumlah mereka mencapai sekitar 900 Kepala Keluarga atau lebih kurang 3.000-an jiwa. Mereka bekerja di berbagai sektor, mulai dari Pegawai Negeri Sipil, TNI/Polri, Dokter, Perdagangan/Jasa, mahasiswa, dan lapangan pekerjaan lainnya.
Menurut sesepuh warga Bukittinggi asal Aceh, Teungku Ali Basya, yang saat ini usianya sudah lebih 80 tahun, mulanya warga Bukittinggi asal Aceh bermukim di kota wisata ini semata untuk menuntut ilmu agama, khususnya di Pesantren Thawalib Parabek dan Canduang. Banyak santri-santri yang berdatangan ke pesantren-pesantren ternama ini dari berbagai daerah di pelosok Aceh. Sepulang dari menuntut ilmu banyak di antara mereka yang menjadi ulama, salah seorangnya almarhum Ali Hasymi, mantan Gubernur Aceh.
Seiring pergantian masa dan pertukaran waktu, keindahan Kota Bukittinggi di mata santri-santri asal Aceh menyebar ke berbagai pelosok kampung halaman mereka.. Dari mulut ke mulut, banyak orang Aceh lainnya yang tertarik untuk datang ke kota ini. Maka selanjutnya terjadilah gelombang kedatangan warga asal Aceh yang tidak hanya menuntut ilmu agama di sejumlah pesantren di Bukittinggi dan sekitarnya, namun juga bermukim di kota ini dalam waktu lama, bahkan berasimilasi lewat perkawinan dengan penduduk pribumi.
Meski sejarah mencatat konflik berkepanjangan terjadi di Aceh, namun warga Bukittinggi asal Aceh yang tinggal di kota berhawa sejuk ini hidup dalam kondisi aman dan nyaman. Suasana ini tentu tidak didapatkan di kampung halaman yang di masa itu mereka sangat akrab dengan ledakan mesiu dan selongsong peluru. Tapi syukurlah, Aceh kini telah damai dan mampu bangkit dari ketertinggalan dan siap menjadi daerah terdepan di sektor pembangunannya.
Sebagai warga Bukittinggi yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) Bukittinggi, pada pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Walikota dan Wakil Walikota) Bukittinggi, warga asal Aceh juga turut serta berpartisipasi. Namun kemana pandangan politik warga Bukittinggi asal Aceh ini, tentu kembali kepada individu mereka masing-masing. Tidak ada intervensi organisasi keluarga Aceh (Ikatan Keluarga Aceh Taman Syiah Kuala) dalam hal satu ini. Yang pasti, warga Bukittinggi asal Aceh akan memilih calon walikota dan calon wakil walikota yang amanah, bertanggung jawab, jujur, dan mampu mensejahterakan masyarakat secara umum. Tidak memilah dan memilih kepentingan satu kelompok masyarakat saja, tetapi benar-benar menyamakan seluruh kepentingan warga Bukittinggi meski mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda.
Memang, Bukittinggi menjadi “kota yang hidup” hari ini lantaran dihuni oleh berbagai macam suku di Indonesia. Semua hidup dalam suasana rukun dan damai. Warna kulit, ras, dan agama boleh berbeda, namun semangat toleransi, hormat menghormati, harus tetap terjaga, walau siapapun yang memimpin kota ini nanti. Selamat menyongsong Pilkada Bukittinggi. []
"Bukittinggi sebagai Kota Perdagangan di Sumatera menyebabkan banyak orang datang untuk berniaga dan bermukim di daerah ini"
BalasHapuspada kata sumatera kok di tulis SUmatera kak ? bukannya sumatra ???
hehhee
Benar, dika. Yang benar Sumatra. Hehehe...
BalasHapus