Oleh: Muhammad Subhan
PEKANBARU bukan kota yang menerapkan Syariat Islam. Namun, apa yang dilakukan pemerintah kota itu dengan meresmikan pemakaian bus kota khusus perempuan (Antara, 17 Februari 2007), nampaknya perlu ditiru oleh daerah-daerah yang menjalankan Qanun Syariat Islam. Bahkan setahu saya, Nanggroe Aceh Darussalam yang telah memulai Syariat Islam, bus kota di daerah itu belum ada pemisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan, apalagi mengkhususkan untuk laki-laki atau perempuan.
Pekanbaru setidaknya memulai alaf baru bagi dunia transportasinya. Ide mengadakan bus khusus perempuan itu, mengingat ‘nasib’ kaum hawa yang sering menjadi sasaran empuk kejahatan di dalam bus, seperti objek pelaku kriminal dan tindak pelecehan seksual.
Begitupun, pemakai bus umumnya adalah para wanita produktif dari kelas ekonomi bawah. Karena penumpang angkutan umum itu adalah perempuan semua, maka pemerintah kota itupun harus melengkapi bus khusus perempuan dengan fasilitas alarm serta menempelkan nomor-nomor penting kepolisian.
Keberadaan bus khusus perempuan ini tentu saja pertama ada di Indonesia. Karena khusus bagi perempuan, jelas saja kaum lelaki ‘dilarang’ naik--meski sopir dan kondekturnya masih laki-laki. Namun, pemerintah setempat juga berencana membuka lowongan sopir dan kondektur dari kaum hawa. Weleh!
Kehadiran bus kota tersebut juga dengan sendirinya memberikan kenyamanan dan keamanan bagi kaum perempuan di Pekanbaru yang banyak bekerja di luar rumah untuk berbagai keperluan.
Sampai saat ini, jumlah bus khusus itu masih terbatas. Baru 5 unit dan melayani rute yang jarang dilalui angkutan umum. Dan, setiap penumpang yang mempergunakan bus kota itu dikenai ongkos Rp2.000 per orang atau sama dengan tarif bus kota lainnya.
Dengan adanya bus itu, jelas saja kaum perempuan di Pekanbaru tidak ragu lagi keluar rumah, meski kejahatan tidak saja ada di dalam bus kota. Tapi setidaknya, kaum perempuan di sana merasa lebih leluasa karena di dalam bus itu hanya ada kaumnya.
Di Sumatra Barat, Kota Padang khususnya, keadaan bus kota sangat memprihatinkan. Jangankan mengadakan bus khusus perempuan, menata bus kota atau angkot saja Pemerintah Kota Padang sering kewalahan. Maka, keluhan penumpang di Kota Padang tidak lain; suara musik keras yang memekakkan gendang telinga, sopir ugal-ugalan dan kebut-kebutan, serta dinding bus atau angkot menggunakan kaca film sehingga memberi peluang bagi ‘anak bola’ untuk mencopet.
Beberapa kali teman-teman saya di Padang ‘dikompas’ di atas bus kota. Bahkan yang sangat berbahaya, oknum preman dalam bus kota membawa pisau lipat. Mereka tak pandang korban laki-laki atau perempuan. Semua disikat!
Sewajarnya, saya kira, ide bernas Pemerintah Kota Pekanbaru itu pantas pula ditiru Pemko Padang serta kota-kota lainnya di Sumbar. Memisahkan penumpang laki-laki dan perempuan, mencerminkan juga budaya keislaman yang bermuara pada kenyamanan penumpang. []
(Dimuat di Kolom Refleksi Koran Haluan, 22 Februari 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar