Oleh: Muhammad Subhan
SAYA sepakat komentar Bung Kasra Scorpi yang menulis di kolom ini dua hari lalu bahwa orang-orang ‘ketek’ (Pedagang Kaki Lima—red), jangan digusur melainkan diatur. Sebab, keberadaan orang-orang ‘ketek’ itu sedikit banyak ikut pula berjasa bagi kemajuan Bukittinggi sebagai kota tujuan wisata di Sumatra Barat.
Dan, PKL yang orang ‘ketek’ itu, di kota manapun keberadaan mereka tak dapat dipungkiri. Di kawasan Tanah Abang Jakarta, Pasar Tembung Medan maupun di kawasan Malioboro Yogjakarta, banyak pula PKL yang berasal dari Minang dan sebagian besarnya orang Bukittinggi. Di sana, PKL diatur karena siapapun berhak mencari nafkah di bumi Allah ini.
Kalau di negeri orang PKL asal negeri kita diatur, kenapa pula PKL yang mencari nafkah di negeri sendiri digusur? Ini ironis kiranya. Bahkan, saya menemukan beberapa PKL paska Operasi Yustisi yang tertekan dan stres akibat gerobak atau barang dagangan mereka disita petugas. Belum lagi yang tertangkap dan nyata-nyata dianggap melanggar Perda. Mereka diminta membayar denda pula yang bagi mereka tidak kecil jumlahnya.
Saya termasuk yang tidak berharap persoalan orang-orang ‘ketek’ terangkat menjadi persoalan besar. Sebab, tak seorang pun dari warga kota ini—dan, siapapun kita—yang dulunya tiba-tiba menjadi orang besar (sukses, hebat, lebih baik, kaya, dll) tanpa lebih dulu menjalani masa-masa sulit yang sedang dihadapi orang-orang ‘ketek’ hari ini.
Wakil Walikota Bukittinggi H. Ismet Amzis sendiri kepada saya mengatakan bahwa beliau juga berasal dari keluarga ‘ketek’. Orang tua beliau adalah pedagang ‘ketek’ di kawasan Pasar Aur Kuning. Tentunya, saya kira, sebagai salah seorang pimpinan di pemerintahan kota yang berlatarbelakang keluarga orang ‘ketek’, Pak Wawa—demikian beliau akrab disapa—sangat peka terhadap nasib orang-orang ‘ketek’ lainnya. Apalagi Pak Walikota yang konon sosoknya sangat bijaksana dan berwibawa.
Menumpahkan kesalahan sepenuhnya kepada pemerintah kota, saya kira tak adil pula. Sebab, sudah tugas dan tanggung jawab pemerintah kota menata kotanya menjadi kota yang baik, tertib, aman, dan nyaman. Tujuannya, tidak lain untuk ketentraman warga juga. Karena sesungguhnya, penegakan aturan adalah wujud kewibawaan dan harga diri pemerintah, dimanapun ia diamanahkan untuk menerapkan aturan.
Dan, pemerintah Kota Bukittinggi telah menyatakan pula bahwa tak ada niat Pemko hendak ‘mematikan’ usaha PKL (Haluan, 9 Februari 2007). Namun, Pemko Bukittinggi saat ini seolah memakan buah simalakama. Satu sisi, PKL adalah juga warga kota (dan daerah sekitarnya—red) yang harus sejahtera, di sisi lain aktivitas PKL yang memakai fasilitas umum sebagai tempat berjualan semakin tidak bisa ditolelir. Maka itu Operasi Yustisi digelar.
Bayangkan, kata Pemko, pertumbuhan PKL di Bukittinggi tidak saja terjadi setiap bulan melainkan sudah tiap hari. Tak salah kalau pasar-pasar di Bukittinggi dan sejumlah kawasan umum lainnya ‘dipenuhsesaki’ PKL. Jalan sering macet, sampah berserak, gerak pejalan kaki terhambat, sehingga menimbulkan berbagai efek negatif lainnya.
Menyaksikan semua fenomena itu, menurut hemat saya, sudah sewajarnyalah pemerintah kota mengeluarkan kebijakan menata PKL—bukan menggusur. Ide memeratakan wilayah dagang PKL tak salah kiranya diterapkan. Tentu, pemerintah kota bekerjasama dengan Assosiasi PKL dan instansi terkait lainnya harus memiliki data berapa jumlah PKL di kota ini. Adanya izin berdagang, penyebaran wilayah dagang ke lokasi-lokasi yang tidak terlalu padat, serta membatasi jumlah PKL baru, sudah mendesak dilakukan. Tentunya, tetap melalui jalur musyawarah mufakat, mengkaji untung rugi, baik buruk, dan jangan sampai ada yang terzalimi.
Memang, persoalan nasib orang-orang ‘ketek’ selalu ada di mana saja. Mereka butuh ‘pembinaan’, bukan ‘pembinasaan’. Mereka butuh ‘perhatian, bukan ‘hardikan’. Dan, mereka butuh ‘cinta kasih’, bukan ‘pilih-pilih kasih’. ***
(Kolom Detak Jam Gadang Koran Haluan, 10 Februari 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar