Senin, 26 April 2010

Menatap Poso dari Sumbar

Catatan: Muhammad Subhan

PERTEMUAN di Malino pada akhir Desember 2001 yang kemudian menghasilkan Deklarasi Malino, sebenarnya, merupakan upaya rekonsiliasi yang dilakukan pemerintah untuk kelompok yang bertikai guna menciptakan Poso yang aman dan damai. Namun, tampaknya, beberapa pekan terakhir, Poso kembali bergejolak.

Gejolak itu, mengingatkan kita bahwa lebih dari 7 tahun Poso terus dilanda konflik. Perundingan dan kesepakatan damai pun terus dilakukan pemerintah. Namun, keadaan baik yang selama ini dicita-citakan rakyat Poso, nampaknya tak kunjung diraih.

Konflik itu berawal dari penggerebekan yang dilakukan Densus 88 Antiteror terhadap 29 DPO (Daftar Pencarian Orang) yang diduga sebagai penyebab terjadinya kerusuhan Poso. Siapa kira, penggerebekan itu akhirnya berbuntut panjang dan awal pangkal bala.

Sejak peristiwa itu, rakyat Poso selalu dicekam ketakutan yang tiada henti. Yang menyedihkan, rakyat sipil selalu menjadi korban. Dan, konflik dimanapun, konon pula di Aceh dulu, korban rakyat sipil selalu berada dalam daftar panjang deretan para korban.

Sudah seharusnya, penyelesaian Poso ditindaklanjuti secara cepat dan tepat waktu. Masyarakat Poso saat ini dilanda kecemasan, sebab nyawa mereka ikut terancam.

Pemerintah, saya kira, dan juga pihak-pihak terkait yang bertanggung jawab memulihkan Poso kembali, diharapkan kesungguhan dan keseriusannya. Bukan sekedar klise dan retorika. Pemerintah ditantang untuk menciptakan Poso yang aman dan damai. Harga diri pemerintah, sudah tentu, dipertaruhkan untuk keamanan Poso.

Begitu pula, tokoh masyarakat maupun tokoh agama di Poso hendaknya meningkatkan komunikasi dan memberikan pengertian antara kelompok-kelompok yang bertikai. Sebab, penyelesaikan Poso tidak harus selalu mengedepankan otot dan senjata, tapi juga nurani dan akal sehat.

Meski konflik Poso telah mengarah pada konflik SARA, namun, budaya komunikasi meski terus diupayakan. Masyarakat harus bisa saling menerima segala perbedaan; keragaman suku, budaya maupun agama yang ada.

Menurut saya, penyelesaian persoalan Poso bukan hanya sekedar melakukan perundingan atau negosiasi. Namun, yang tidak kalah penting adalah bagaimana pemerintah hadir sepanjang waktu untuk memberi kedamaian bagi rakyat Poso.

Secara historis, memang, tak ada kaitan Poso dengan Sumbar. Namun, secara geografis, Poso dan Sumbar sama-sama berada di antara pulau-pulau yang menghiasi bumi Khatulistiwa. Begitu pula, sejujurnya, masyarakat Negeri Minang ini, merindukan kedamaian itu kembali ada di Poso. Dan, semoga, negeri ini akan selalu damai, selamanya. []

(Catatan Dibuang Sayang, dimuat di Haluan, kolom Refleksi, 4 Februari 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar