Rabu, 02 Februari 2011

Cinta Minang, Lahirkan Novel Laris "Rinai Kabut Singgalang"

KEINDAHAN alam Ranah Minang menjadi inspirasinya melahirkan karya sastra. Dalam waktu relatif singkat, tiga bulan, di tahun 2010, ia merampungkan sebuah novel berlatar Minang berjudul "Rinai Kabut Singgalang". Novel itu terbit Januari 2011, di Yogyakarta, dan menjadi "pengobat rindu" para perantau Minang akan Ranah Bundo, Sumatera Barat yang permai. Saat ini, "Rinai Kabut Singgalang" termasuk novel terlaris.

Namanya Muhammad Subhan, kelahiran Medan namun berdarah Aceh-Minang. Obsesinya menjadi pengarang sudah tertanam sejak ia duduk di bangku kelas dua SMP di sebuah kampung kecil di Aceh Utara. Buku sastra favoritnya adalah roman-roman karangan Buya Hamka. Sejak 2000, di masa Aceh masih dalam konflik, ia hijrah meninggalkan Tanah Rencong dan menetap di Sumatera Barat.

Di Negeri "Urang Awak" itulah kemampuan menulisnya terasah. Disamping sejak tahun 2000 ia memutuskan menggeluti dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan di sejumlah suratkabar di Padang, diantaranya; SKM Gelora, Gelar Reformasi, Garda Minang, Media Watch (2000-2003), Harian Mimbar Minang (2003-2004), Harian Haluan (2004-2010). Pernah menjadi editor Harian Online Kabar Indonesia (www.kabarindonesia.com) yang berpusat di Belanda (2007-2010), dan kontributor Majalah Islam Sabili (2008-2010). Sejak April 2010 ia memimpin Media Online www.korandigital.com yang berbasis di Kota Serambi Mekah Padang Panjang.

Ia juga sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai pelatihan/seminar tentang kepenulisan/jurnalistik di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi. Selain wartawan ia bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar dan Koordinator Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi.

Beberapa puisi dan tulisannya terkumpul dalam antologi bersama, diantaranya; Lautan Sajadah (Antologi Puisi, Himabasindo FKIP/Universitas Muhammadiyah Padang Panjang, 2009), Ponari for President (Antologi Puisi, Malang Publishing, 2009), Musibah Gempa Padang (Antologi Puisi, eSastera Malaysia, 2009), G30S: Gempa Padang (Antologi Puisi, Apsas, 2009), Hujan Batu Buruh Kita (Kumpulan Liputan Perburuhan, AJI Indonesia, 2009), dan Melawan Kemiskinan dari Nagari (Buku Evaluasi Kredit Mikro Nagari yang ditulis bersama wartawan senior Hasril Chaniago dan Ekoyanche Edrie, Bappeda Sumbar, 2009.

Suatu hari, seorang guru Bahasa Indonesia berkunjung ke Rumah Puisi Taufiq Ismail tempat Subhan bekerja. Guru itu berkeluh kesah bahwa novel-novel berlatar Minang sekarang tidak ditemukan lagi di pasaran. Padahal, tema-tema tentang Minang tidak pernah habis untuk digali dan selalu dicari para pembacanya. Orang rindu novel-novel yang ditulis secara sederhana, tidak picisan, tidak mengumbar syahwat seperti banyak ditemukan novel-novel dewasa ini.

"Berangkat dari uneg-uneg seorang guru itulah, saya tertarik menulis novel tentang Minang dan ditulis dengan bahasa sederhana," kata laki-laki yang memiliki seorang istri dan dianugerahi seorang putra ini.

Kata "rinai" berasal dari bahasa Minang yang telah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang artinya gerimis atau hujan rintik-rintik. Di daerah sekitar Gunung Singgalang di Kabupaten Tanah Datar, tepatnya di Nagari Aie Angek, kawasan ini selalu memiliki ciri khas, yaitu senantiasa diselimuti kabut bila hujan rintik-rintik turun. Tentu saja, panorama itu sangat indah sekali.

"Terinspirasi dari pemandangan alam yang luar biasa itulah, novel ini saya tulis," ujar Subhan.

Sinopsis

Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri--tokoh utama), perempuan asal Pasaman (Sumatra Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang”, “orang di pinggang”, “orang yang tak berurat-berakar”. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orang tua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.

Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri mencari mamaknya di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat paman Safri yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh─dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima─utamanya Ningsih (kakak Rahima)─ bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang”, “orang di pinggang”.

Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluhlantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas megabencana Gempa dan Tsunami (2004). Annisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan, begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak? Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong suaminya ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian, dalam keterpiuhan perasaan lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak kepedihan.

Di akhir kisah, Fikri digambarkan sebagai laki-laki yang terlahir kembali. Ia menjadi pengarang tersohor, bahkan salah satu novelnya dilayar-lebarkan. Banyak orang memujinya. Kabar tentang keberhasilan Fikri membuat Ningsih (orang yang telah memisahkannya dengan Rahima), tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Lagi pula, pada saat yang sama, Rahima sedang tertimpa masalah; suaminya menjadi tersangka korupsi, dan bunuh diri di penjara. Sejatinya, rasa cinta Fikri pada Rahima tiada bakal punah, meski pengkhianatan itu sukar ia lupakan. Atas dasar itu pula Fikri memenuhi undangan Ningsih untuk datang ke Jakarta, perempuan itu hendak mempertemukan kembali “kasih tak sampai” yang telah membuat perasaan Fikri-Rahima telah tercabik-cabik. Namun, kisah novel ini disudahi dengan cara sangat tragis, kepulangan Ningsih, Rahima, dan Fikri ke Padang ternyata bukan kepulangan yang membahagiakan. Pesawat yang mereka tumpangi tergelincir. Rahima selamat, tapi Fikri mengalami geger-otak, dan karena itu ia merasa tak memenuhi syarat lagi untuk menjadi suami Rahima. Ia meminta sejawat karibnya, Yusuf, untuk menikahi Rahima. Saat ijab-kabul pernikahan itu berlangsung, Fikri menghembuskan napas penghabisan. Menutup mata untuk selamanya, dan dikubur di kaki gunung Singgalang yang selalu disinggahi rinai dan kabut. (*)

2 komentar:

  1. novelnya beli dimana ya ??

    BalasHapus
  2. Bisa dibeli langsung ke penulisnya. Call saja 0813 7444 2075. Ditunggu yah :)

    BalasHapus