Oleh Irzen Hawer
Awal kisah, di sebuah kampung kecil di pesisir pantai Aceh Utara, tokoh Fikri tak kuasa menghadapi situasi ayahnya yang sedang meregang nyawa (maut).
Di paruh kisah, di depan matanya, Mak Syafri mamaknya merenggang ‘maut’ kerena ditikam oleh orang –yang sebenarnya dialah (Fikri) target penganiayaan oleh beberapa pemuda yang tidak senang kehadirannya di Kajai-Pasaman, sebuah dusun tanah kelahiran ibunya.
Setelah Fikri hijrah ke Padang, selanjutnya orang-orang yang dekat, malah sangat dicintainya, beruntun menghadapi ‘maut’. Mulai Maimunah ibunya Fikri yang meninggal di Aceh, Bu Aisyah ibu angkatnya yang meninggal karena tekanan perasaan di Padang, adiknya Annisa beserta suami dan anaknya turut meninggal akibat bencana tsunami Aceh, Ningsih yang meninggal sekeluarga akibat kecelakaan pesawat menuju Padang –yang kunjungan ini dalam rangka merekat kembali hubungan adiknya Rahima dengan Fikri, alhasil Fikri yang juga sepesawat dengan Ningsih, juga meninggal dunia. Dan terakhir di ending cerita Rahima juga menyusul Fikri menghadapi ‘maut’.
Novel Rinai Kabut Singgalang (RKS) yang tebalnya 396 halaman, yang membuat saya terpaku dan terharu membaca dan menghabiskan waktu 30 jam menamatkannya –yang menurut perkiraan saya novel ini bakal jadi pembicaraan di mana-mana-- oleh pengarangnya, kita diajak menemui sang guru, yaitu ‘maut’.
Maut atau kematian itu sendiri memberikan nasehat kepada kita, seperti hadist Rasulullah SAW:
“Secerdik-cerdik manusia ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menhadapi kematian itu. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar cerdik dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia serta kemuliaan akhirat". (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abiddunya)
“Perbanyaklah mengingat kematian, sebab yang demikian itu akan menghapuskan dosa dan menyebabkan timbulnya kezuhudan di dunia." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abiddunya)
Fikri (tokoh utama cerita), telah menjadi pemuda cerdik dari kausalitas peristiwa ‘maut’ yang beruntun ini. Mengapa tidak? Andai saja. Ya, andai ayahnya masih segar bugar dia akan jadi anak yang selalu hidup di bawah ketiak orang tuanya, bercengeng-cengeng, manja seperti segelintir anak yang lain. Andai mamaknya terus hidup dia akan terjebak ‘menebus dosa’ ibunya dulu dengan menghabiskan umur merawat mamaknya yang terlantar, terpasung di tengah rimba di kampung Kajai-Pasaman. Andai Bu Aisyah masih hidup, agak sulit alasan Ningsih ‘melarikan’ Rahima ke Jakarta –yang menyebabkan Fikri terkapar berdarah-darah patah hati --yang kemudian dengan kejadian ini telah menyulapnya jadi pengarang besar dan tersohor.
Siapa yang kuasa melawan ‘maut? Mengapa maut datang silih berganti? Ada apa di balik maut dan bagaimana menyikapinya bila melanda orang-orang yang dicintai? Inilah pembelajaran moral yang ditawarkan Muhammad Subhan pengarang novel ini kepada kita, seperti kutipan dalam novel ini:
“Apa lagi yang kau pikirkan? Kita orang beriman, serahkan semua urusan pada Allah” (hal. 222). Inilah nasehat Ustad Rahman kepada Fikri di tenda posko relawan pasca benca tsunami Aceh.
“Tapi saya tak ingin menyerah dalam hidup ini. Saya ingin terus berjalan sampai akhir perjalanan itu. Alhamdulillah, pendidikan di panti menggembleng mental saya untuk tegar. Saya terus belajar, khususnya mendalami agama. Dalam agama inilah saya menemukan ketenangan dan memahami makna hidup sebenarnya…”(hal. 223).
Hikmah yang kita tuai dari novel yang banyak mendeskripsikan keelokan alam ranah Minang ini adalah; Pertama, di balik peristiwa maut ada beberapa nasehat untuk kita. Kedua, kita harus berani hijrah ke tempat lain bila tempat yang semula tidak kondisif dari segi sosial, ekonomi dan pendidikan seperti yang dilakukan tokoh Fikri. Ketiga, kita harus sabar menghadapi berbagai badai penderitaan dan selalu berpegang teguh pada tali Allah.
Sebenarnya bicara tentang hikmah yang tersirat dalam RKS ini sangat banyak tergantung intuisi dan apresiasi kita. Yang pasti novel adalah kritik sosial terhadap kehidupan semasa pengarang hidup. Dalam RKS ini banyak kita temui kritik-kritik moral –adat yang kaku– perkawinan yang tidak berlandaskan cinta, dan lain sebagainya.
Kehadiran novel Rinai Kabut Singgalang ini, telah memunculkan harapan baru dan berandil besar dalam menyemarakkan kesusasteraan Indonesia kembali. Terutama mengusung kearifan lokal Minang yang pernah berjaya pada Angkatan Balai Pustaka. Malah pangarang-pengarang Minang pernah merajai kesusasteraan Nusantara dulu, sebutlah Sutan Takdir Alisyahbana, Tulis Sutan Sati, Abdul Muis, Marah Rusli, Asrul Sani, AA Navis, Taufiq Ismail, Hamka, dll.
Seperti harapan yang digores Damhuri Muhammad dalam Prolog novel ini; “Kedalaman galian Rinai Kabut Singgalang, sungguh dapat ditandai dengan upaya Muhammad Subhan dalam mempertahankan identitas roman berlatar alam Minangkabau yang belakangan mulai diabaikan….” Juga harapan-harapan endorsement pada kulit belakang RKS (Dianing Widya Yudhistira, Sutan Iwan Soekri Munaf, Sulaiman Juned, Muhammad Nasruddin, Akhiriyati Sundari dan Irzen Hawer) yang mengungkap penuh semangat kemunculan RKS ini.
Semoga terbitnya RKS memotivasi pengarang-pengarang muda Minang untuk terus berkarya dan cepat merilis novelnya, dan terus mewarnai kesusasteraan Indonesia, hingga kapan pun dan dimana pun. Amin. []
Penulis peminat buku-buku sastra dan guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Batipuh, Tanah Datar.
Sumber: http://korandigital.com/?pg=articles&article=13610
Tidak ada komentar:
Posting Komentar