Oleh Tiara Mairani*)
Secara umum mungkin orang berpikir bahwa novel hanyalah sekedar sebuah cerita perjalanan hidup dan kisah-kisah cinta seseorang. Sebuah cerita yang nyata jika dijelaskan dari covernya dan ada dari sebuah khayalan seorang pengarang.
Dapat dilihat banyak orang hanya membaca novel begitu saja dan setelah tamat ya sudah. Sekedar hiburan menghabiskan waktu luang. Tanpa memahami dan mengambil nilai-nilai yang ditanamkan pengarang dari cerita itu untuk dapat ditiru sisi baiknya. Dan, generasi muda sekarang lebih cenderung suka pada novel dari luar negeri dan diluar wilayah ranah Minang. Sementara penulis dan sastrawan terkenal banyak yang berasal dari ranah Minang. Sebut saja diantaranya, Buya Hamka dan Taufiq Ismail adalah sastrawan yang berasal dari ranah Minang dan diakui karya-karyanya yang membawa pencerahan. Sekarang ini, pengarang muda asal Padang Panjang, Muhammad Subhan yang baru menerbitkan novelnya berjudul "Rinai Kabut Singgalang" telah menjadi penerus Taufiq Ismail, Buya Hamka dan sastrawan lainnya.
Sebagai generasi muda hari ini kapan kita ingin berkarya dan mewarisi mereka? Siapa lagi yang akan menjadi penerus mereka kalau bukan kita? Hilangkanlah sifat malas yang telah tertanam dalam diri kita masing-masing. Ayolah mulai membaca dan menulis. Keluarkan inspirasi dan jadi penerus yang dapat dicontoh oleh generasi selanjutnya. Mari bersama-sama kita 'mambangkik batang tarandam'. Buktikan pada dunia bahwa kita mampu untuk berkarya dan menjadi penulis (sastrawan) terbaik.
Sekarang, mulailah kita mencintai karya dari negeri sendiri dan daerah kita masing-masing. Tentu kita tidak akan rugi untuk banyak membaca, karena membaca dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Mungkin, sebagian besar di antara kawan-kawan belum membaca novel RKS yang banyak mengandung nilai-nilai dan juga sangat mendidik. Novel ini terbit Januari 2011 diterbitkan Penerbit Rahima Intermedia Publishing, Yogyakarta. Prolog ditulis Damhuri Muhammad, seorang cerpenis dan esais nasional yang juga orang awak namun berdomisili di Jakarta.
Dalam novel ini, pengarang sangat pandai membangun konfik yang kuat dan ditulisnya dengan bahasa sederhana namun begitu mengesankan. Pembaca seolah ikut terlibat di dalamnya. Dalam bab per babnya, pengarang banyak menanamkan nilai-nilai luhur yang tentu saja pembaca dapat menjadikannya sebagai ibrah (pelajaran). Latar cerita sangat mendukung dan alur yang tidak mudah membuat pembaca bosan.
Pengarang menanamkan nilai agama yang kuat pada tokoh utama (Fikri). Fikri yang sangat taat dalam menjalani tugas dari Yang Maha Kuasa dan suaranya yang merdu membuat semua orang yang mendengar adzan yang dikumandangkannya serta irama bacaan Quran, banyak orang kagum dan bangga kepadanya. Fikri pun sempat menjadi guru untuk memberi pengajian kepada ibu-ibu majelis taklim yang dipimpin oleh Bu Aisyah (orangtua angkat Fikri di Padang).
Fikri mengenal Bu Aisyah pada saat ia menumpang bus dari Aceh kampung ayahnya menuju Kajai, kampung kelahiran ibunya. Fikri berdarah Aceh-Minang. Ibunya (Maimunah) berasal dari Kampung Kajai, Pasaman dan ayahnya (Munaf) berasal dari Aceh.
Dikisahkan, pernikahan Maimunah dan Munaf tidak direstui oleh keluarga ibunya. Dengan alasan Munaf orang datang. Terjadilah konflik itu, sementara Maimunah sangat mencintai Munaf. Lalu Maimunah menentang adat di kampungnya, ia pun tetap menikah dengan Munaf dengan cara pergi meninggalkan kampung halaman dan kedua orang tuanya. Kepergian Maimunah itu, membuat orang tuanya menanggung malu hingga jatuh sakit dan meninggal dunia. Sementara kakak Maimuna, Safri, ikut pula sakit--mengidap gangguan jiwa--hingga iapun dipasung orang kampung di tengah kebun manggis di kaki Gunung Talamau.
Singkat cerita, Fikri pergi meninggalkan kampung ibunya itu menuju Padang. Tujuannya untuk kuliah, disamping ia menghadapi cobaan dengan tewasnya mamaknya Safri akibat dianiaya oknum pemuda. Sejak itu, ujian dan cobaan terus menderanya.
Di Padang, ia bertemu Rahima, seorang gadis remaja yang molek parasnya dan baik budi bahasanya. Ia pun jatuh hati kepada gadis itu yang tak lain adalah putri Bu Aisyah. Dan, ternyata Bu Aisyah juga sangat sayang kepada Fikri. Bu Aisyah lah yang mempertemukan Fikri dengan Bu Rohana, orangtua angkat kedua Fikri dimana ia menumpang tinggal, di Teluk Bayur.
Perhubungan kasih antara Fikri-Rahima tak berjalan mulus dan berbuah kekecewaan. Ningsih, kakak Rahima, menentang hubungan itu, karena di mata Ningsih, Fikri dianggap orang miskin, tidak jelas asal usul dan hanya mempunyai orangtua angkat. Hingga terjadilah kasih tak sampai antra Fikri-Rahima yang keduanya saling mencintai.
Ningsih memaksa Rahima agar menikah dengan laki-laki pilihannya di Jakarta. Rahima berontak tapi ia tak kuasa. Selama ini Ningsih yang membiayai sekolahnya, demikian juga untuk kebutuhan Bu Aisyah. Hidup Rahima pun diatur Ningsih.
Pengarang membentuk karakter yang kuat pada tokoh Fikri, meski sekilas terkesan Fikri sosok yang lemah. Betapa tidak, saat masih di Aceh ayah Fikri meninggal dunia, disusul ibunya berpulang ke Rahmatullah ketika Fikri telah menginjakkan kaki di Padang. Tak lama kemudian, adik yang disayanginya, Annisa, ikut pula meninggal akibat bencana tsunami yang menggulung Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
Lengkaplah sudah penderitaan Fikri. Tinggallah ia sebatang kara di perantauan (Padang). Satu yang dia syukuri, bahwa semasa di Padang itu ia memiliki seorang sahabat karib yang selalu ada disampingnya ketika ia menghadapi suka dan duka. Dialah Yusuf, sahabat yang ia kenal sejak ia menginjakkan kaki pertama kali di Kajai, kampung ibunya.
Yusuf selalu menyadarkan Fikri ketika pemuda itu mulai putus asa. Yusuf yang memberinya semangat untuk tegar menjalani hidup. Hingga akhirnya Fikri terbangun dan mampu menyelesaikan kuliahnya hingga menjadi sarjana dan berhasil jadi pengarang tersohor yang karyanya difilmkan. Banyaklah orang memujinya, bangga kepadanya.
Di sini pengarang menjelaskan bahwa seolah-olah Fikri melupakan segala masalahnya dengan cara berkarya. Sungguh sempurna sosok seorang Fikri yang selalu tabah dengan semua cobaan yang datang bertubi-tubi mendera dirinya. Walaupun setiap kali mengingat masa lalunya itu, Fikri selalu manangis berurai air mata. Seolah tampaklah kelemahannya sebagai seorang laki-laki. Tetapi sesungguhnya Fikri adalah sosok yang sangat kuat dan selalu bersemangat.
Pengarang juga mengingatkan kembali kekecewaan yang dialami Fikri. Pernikahan Rahima dengan laki-laki yang dijodohkan Ningsih tidaklah langgeng. Rumah tangga Rahima hancur, suaminya mati bunuh diri karena malu korupsi. Disinilah puncak penyesalan Ningsih yang salah pilih, sementara sesungguhnya Ningsih sayang kepada Rahima. Rupanya, perjodohan yang dibuat Ningsih itu lantaran Ningsih punya hutang budi kepada laki-laki yang menjadi suami Rahima.
Sepeninggal suaminya yang telah tiada, dalam suatu acara launching film yang diangkat dari novel karya Fikri di Jakarta, tanpa diduga bertemulah Ningsih, Rahima dan Fikri. Sesudah pertemuan itu Rahima jatuh sakit. Pada saat itulah Ningsih timbul ibanya dan menyesal akan segala perbuatannya kepada Fikri dan Rahima dulu. Akhirnya Ningsih insaf dan memutuskan meminta maaf kepada Fikri dan menjilat ludahnya sendiri. Ia meminta Fikri yang telah tinggal di Bukittinggi agar berkenan menjenguk Rahima di Jakarta.
Maukah Fikri datang menjenguk Rahima, orang yang pernah menjadi kekasihnya itu? Yusuf, sahabat Fikri, mulanya menentang keinginan Fikri berangkat ke Jakarta menejnguk Rahima, karena kakak perempuan itu (Ningsih) itu telah menghancurkan hidupnya. Tapi akhirnya Fikri tetap berangkat. Di titik ini pengarang menjelaskan betapa mulianya hati seorang Fikri yang sedikit pun tak menaruh dendam meski ia pernah disakiti. Fikri memenuhi undangan Ningsih menjenguh Rahima yang terbaring sakit.
Ketika Fikri menjenguk Rahima, perempuan itu mulai pulih dari sakitnya. Ningsih pun ingin mempertemukan kembali kasih mereka yang dulu tak sampai. Tapi saat itu Fikri seolah tak lagi memiliki rasa dan ia berkeras ingin kembali pulang ke Bukittinggi. Ningsih menahannya, dengan cara mengajaknya pulang bersama ke Padang menjenguk pusara ibunya.
Musibah tak dapat ditolak. Pada saat Fikri dan Rahima ke Padang dari Jakarta menumpang pesawat udara, kendaraan yang mereka tumpangi itu tergelincir. Ningsih tewas, Rahima selamat sedangkan Fikri mengalami geger otak dan dirawat di rumah sakit.
Di sini pengarang mampu membuat ending cerita yang menakjubkan. Karena merasa tidak memenuhi syarat lagi sebagai suami Rahima, Fikri meminta sahabatnya Yusuf agar mau menikahi Rahima. Dan, saat itu Yusuf telah membeli sebuah rumah di Koto Baru, di kaki Gunung Singgalang. Di sanalah akhir cerita novel ini. Pada saat Yusuf mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu, disaksikan Fikri yang sedang terbaring sakit, saat itulah Fikri menghembuskan nafas terakhirnya. Sangat terpukullah hati Yusuf dan Rahima.
Namun sesudah kematian Fikri itu, beberapa bulan kemudian Rahima jatuh sakit dan akhirnya ia pun meninggal dunia, menyusul kekasihnya itu. Meski telah menikah secara sah, dimasa hidupnya tak sedikit pun Yusuf menyentuhnya, layaknya antara istri dan suami. Sebab Yusuf tahu sungguh besar cinta Rahima kepada Fikri, sahabatnya itu. Atas permintaan Rahima, berkuburlah perempuan itu disamping pusara Fikri, di kaki gunung Singgalang yang selalu disinggahi rinai dan kabut. Dalam setiap doanya, Yusuf meminta kepada Tuhan agar kedua kekasih yang saling mencintai itu dipertemukan di surga.
Sungguh, banyak sekali hikmah yang dapat dipetik dari kisah yang tersurat dalam novel yang penuh air mata disetiap babnya ini. RKS lahir dengan kondisi kekinian meski ditulis dengan gaya tutur yang akrab ditemukan pada roman-roman pujangga baru, semacam roman-roman yang ditulis Buya Hamka, pengarang Minang yang tersohor namanya itu. ***
*) Tiara Mairani, siswi SMA Negeri 15 Padang, penikmat buku-buku sastra, tinggal di Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar